Kongres
Pemuda II di gedung Katholieke Jongelengen Bond, Waterlooplein (sekarang
Lapangan Banteng, Jakarta) pada 27 Oktober 1928 bisa-bisa dibubarkan polisi Belanda
jika tak ada Soegondo Djojopoespito (1905-1978). Sejarah
memang berbicara lain. Waktu itu, Soegondo, yang menjadi Ketua Ketua
Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia dan sekaligus Ketua Kongres, berhasil
mencegah kemarahan polisi-polisi Belanda yang terus menerus mengawasi jalannya
kongres yang notulen rapatnya pun harus ditulis dalam bahasa Belanda.
Majalah Tempo Edisi 36/37
terbitan 2 November 2008 berjudul "Peran Soegondo, Sang Pemimpin yang
Redup" menggambarkan ada dua insiden dalam rapat yang dapat diatasi
Soegondo. Pertama, ketika polisi Belanda yang mengawasi kongres memprotes
penggunaan kata "merdeka" yang disebutkan dalam pidato peserta. “Jangan
gunakan kata ‘kemerdekaan’, sebab rapat malam ini bukan rapat politik dan harap
tahu sama tahu saja,” katanya menyabarkan peserta, seperti dikutip dalam
buku Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok karya Pitut
Soeharto-Zainoel Ihsan. Protes kedua juga datang dari pihak Belanda, saat
seorang pembicara menganjurkan kaum muda lebih bekerja keras agar Tanah Air
Indonesia lekas menjadi negeri seperti Inggris, Jepang, dan lainnya. Seketika
itu, Soegondo diminta polisi Belanda mengeluarkan semua pemuda dalam rapat itu.
Namun, ia menolak permintaan tersebut.
Rapat sempat ricuh. Namun, pertemuan itu akhirnya dapat dilanjutkan berkat
bantuan Sartono, Wakil Partai Nasional Indonesia cabang Jakarta dan juga
mewakili Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Rapat
yang berlangsung selama dua hari, 27-28 Oktober 1928 itu akhirnya bisa
berlangsung mulus. Tentu saja, ketika berpidato, bukan Soegondo namanya kalau
tidak memompa semangat para peserta rapat.
Dalam pidatonya, Soegondo menyampaikan sebuah perumpamaan: "Dua ekor
anjing berebut tulang, tetapi tulangnya dibawa lari oleh seekor anjing
lain." Artinya, kata Soegondo, ketika bangsa Indonesia bercerai-berai,
Belandalah yang bakal meraup untung. Itulah sebabnya ia menyerukan persatuan.
"Perangilah pengaruh cerai-berai dan majulah ke arah Indonesia
bersatu."
Pidato sambutan itu langsung disambut tepuk tangan peserta kongres. Kisah
tersebut dikutip dari buku Soegondo Djojopoespito: Hasil Karya dan
Pengabdiannya, tulisan Sri Sutjianingsih. Tak ayal lagi, Soegondo memang
piawai dalam berpidato dan tangkas memimpin rapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar