Dan Dia
menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku
hidup (Maryam: 31)
Dalam
banyak momentum, kita sering mendengar ungkapan: laisat al-’ibrah bi
al-katsrah, innamâ bi al-barakah (yang penting bukan banyak, tapi berkah). Ada lagi ungkapan:
al-harakah fîhâ al-barakah (keberkahan ada pada pergerakan).
Saya
tidak dalam konteks mengemukakan dalil atas dua ungkapan di atas. Akan tetapi,
saya hanya ingin menekankan pada kosa kata barakah yang berarti keberkahan.
Menurut
dalil-dalil Al-Qur’ân dan Al-Hadîts, banyak sekali hal-hal yang dinyatakan
memiliki keberkahan, misalnya Al-Masjid Al-Aqshâ, Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
menyatakan bahwa sekelilingnya adalah tempat yang diberkahi oleh-Nya (Al-Isrâ’:
1).
Misalnya
lagi adalah Al-Qur’ân, Kitâb Allâh ,
ia adalah kitab yang Mubârak
(diberkahi oleh Allâh –subhânahu wa ta’âlâ). (Al-An’âm: 92, 155), (Al-Anbiyâ’:
50), (Shâd: 29), bahkan bukan hanya Al-Qur’ân yang diberkahi, akan tetapi,
malam waktu turunnya yang pertama kali juga merupakan lailatun mubârakatun
(malam yang diberkahi oleh Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-) (Al-Qadar: Al-Dukhân:
3), malaikat yang membawanya turun juga malaikat yang mubârak, nabi yang
menerimanya juga merupakan nabi yang mubârak, umat yang menerimanya adalah
ummatun mubârakatun (umat yang diberkahi), tempat turunnya juga merupakan
tempat yang mubârak dan semua yang berkaitan dengannya adalah mubârak, sebab
memang turun dari Dzât yang tabârak (yang keberkahannya terus bertambah dan
bertambah) (Al-Furqân: 1).
Lalu,
adakah ayat yang secara eksplisit menjelaskan bahwa di dunia ini adalah manusia
yang mubârak? Dan adakah keberkahan manusia itu dapat diupayakan, dalam arti,
mungkinkan manusia “biasa” menghiasi diri dengan suatu sifat dan akhlaq
tertentu, atau ia melakukan sesuatu, lalu karenanya ia menjadi manusia yang
mubârak? Dan jika pertanyaan seperti ini kita bawa kepada liqâ-ât (pertemuan-pertemuan)
dan ijtimâ’ât (rapat-rapat) yang manusia “modern” tidak dapat terlepas darinya,
adakah di dunia ini liqâ-ât atau ijtimâ’ât yang mubârakah?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, marilah kita ikuti potongan dari
sebuah surat
yang ditulis oleh Ibn Al-Qayyîm kepada Alâ’ al-Dîn, seorang “saudaranya”.
Ibn
Al-Qayyîm menulis demikian:
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللهُ اَلْمَسْؤُوْلُ اَلْمَرْجُوُّ اْلإِجَابَةِ
أَنْ يُحْسِنَ إِلَى اْلأَخِ عَلاَءِ الدِّيْنِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ،
وَيَنْفَعَ بِهِ، وَيَجْعَلَهُ مُبَارَكًا أَيْنَمَا كَانَ، فَإِنَّ بَرَكَةَ
الرَّجُلِ : تَعْلِيْمُهُ لِلْخَيْرِ حَيْثُ حَلَّ، وَنُصْحُهُ لِكُلِّ مَنْ
اِجْتَمَعَ بِهِ. قَالَ تَعَالَى إِخْبَارًا عَنِ الْمَسِيْح أَيْ :
-
مُعَلِّمًا لِلْخَيْرِ
-
دَاعِيًا إِلَى اللهِ
-
مُذَكِّرًا بِهِ
-
مُرَغِّبًا فِيْ طَاعَتِهِفَهَذَا مِنْ بَرَكَةِ الرَّجُلِ، وَمَنْ خَلاَ مِنْ
هَذَا، فَقَدْ خَلاَ مِنَ الْبَرَكَةِ، وَمُحِقَتْ بَرَكَةُ بَقَائِهِ
وَالاِجْتِمَاعِ بِهِ، بَلْ تُمْحَقُ بَرَكَةُ مَنْ لَقِيَهُ وَاجْتَمَعَ بِهِ،
فَإِنَّهُ يُضَيِّعُ الْوَقْتَ فِي الْمَاجِرِيَّاتِ، وَيُفْسِدُ الْقَلْبَ،
وَكُلُ آفَةٍ تَدْخُلُ عَلَى الْعَبْدِ فَسَبَبُهَا ضَيَاعُ الْوَقْتِ، وَفَسَادُ
الْقَلْبِ، وَتَعُوْدُ بِضَيَاعِ حَظِّهِ مِنَ اللهِ وَنُقْصَانِ دَرَجَتِهِ
وَمَنْزِلَتِهِ عِنْدَهُ، وَلِهَذَا وَصَّى بَعْضُ الشُيُوْخِ فَقَالَ :
اِحْذَرُوْا مُخَالَطَةَ مَنْ تُضَيِّعُ مُخَالَطَتُهُ اَلْوَقْتَ، وَتُفْسِدُ
الْقَلْبَ، فَإِنَّهُ مَتَى ضَاعَ الْوَقْتُ، وَفَسَدَ الْقَلْبُ اِنْفَرَطَتْ
عَلَى الْعَبْدِ أُمُوْرُهُ كُلُّهَا، وَكَانَ مِمَّنْ قَالَ اللهُ فِيْهِوَمَنْ
تَأَمَّلَ حَالَ هَذَا الْخَلْقَ وَجَدَهُمْ كُلَّهُمْ - إِلاَّ أَقَلَّ
الْقَلِيْلِ - مِمَّنْ غَفَلَتْ قُلُوْبُهُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى
وَاتَّبَعُوْا أَهْوَاءَهُمْ، وَصَارَتْ أُمُوْرُهُمْ وَمَصَالِحُهُمْ فُرُطًا،
أَيْ فَرَطُوْا فِيْمَا يَنْفَعُهُمْ، بَلْ يَعُوْدُ بِضَرَرِهِمْ عَاجِلاً
وَآجِلاً …
Dengan
menyebut nama Allâh, Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.
Allâhlah
Dzat tempat kita meminta Yang Diharap Keterkabulannya. Semoga Dia berbuat ihsân
kepada al-akh ‘Ala ’
al-Dîn di dunia dan akhirat, menjadikannya orang yang bermanfaat dan membawa
keberkahan di mana pun ia berada. Sebab, keberkahan seseorang ada pada:
· Pengajarannya terhadap segala macam kebajikan di mana pun ia berada,
dan
·
Nasehat yang ia berikan kepada
semua orang yang ijtimâ’ (berkumpul, rapat) dengannya.
Saat
menceritakan tentang nabi ‘Îsâ –’alaihi al-salâm- Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
berfirman:
“Dan Dia
menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada”. (Maryam: 31)
Nabi ‘Îsâ
– ‘alaihi al-salâm- menjadi manusia yang membawa berkah adalah karena ia:
1.
Menjadi guru kebajikan
2.
Juru dakwah yang menyeru
manusia kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
3.
Mengingatkan manusia tentang
Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
4.
Mendorong dan memotivasi
manusia untuk taat kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
Inilah
bagian dari keberkahan seseorang, siapa saja yang tidak memiliki hal ini, maka,
ia telah kosong dari keberkahan, keberkahan eksistensi dan ijtimâ’ (berkumpul,
rapat) dengannya telah dihapus, bahkan, keberkahan orang-orang yang liqâ’
(bertemu) dan ijtimâ’ (berkumpul, rapat) dengannya juga dihapuskan, sebab, ia
hanyalah:
1.
Membuang-buang waktu dalam
kehidupan, dan
2.
Merusak hati.
Dan semua
âfat (bencana, problem, musykilah) yang datang kepada seorang manusia,
penyebabnya adalah waktu yang tersia-sia dan hati yang rusak, dan keduanya
merupakan akibat dari:
1.
Tersia-sianya “posisi” dia di
sisi Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-, dan
2.
Turunnya tingkatan dan
kedudukan dia di sisi Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
Oleh
karena inilah, sebagian masyâyikh berpesan:
“Waspadalah,
jangan mukhâlathah (berkumpul, bergaul) dengan seseorang yang menyebabkan waktu
terbuang sia-sia dan menyebabkan hari rusak, sebab, jika waktu telah terbuang
sia-sia, dan hati rusak, maka segala urusan manusia menjadi berantakan, dan ia
termasuk dalam cakupan firman Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-:
“Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.
(Al-Kahfi: 28).
Dan siapa
saja yang mencermati keadaan manusia di bumi ini, ia akan mendapati bahwa
mereka – kecuali sangat-sangat sedikit – termasuk dalam kategori:
1.
Orang-orang yang hatinya lalai
dari mengingat Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
2.
Orang-orang yang mengikuti hawa
nafsu
Akibatnya,
segala urusan dan kemaslahatan mereka menjadi tercerai berai, tidak membawa
manfaat kepada mereka, bahkan madharatnya malah menimpa mereka, baik urusan di
dunia maupun akhirat
Dari
kutipan panjang di atas, ada beberapa pelajaran yang bisa kita catat untuk
kehidupan dakwah kita sekarang ini, antara lain:
1.
Seseorang dapat menjadi sumber
keberkahan, manakala memiliki sifat dan karakter sebagai berikut:
· Menjadi guru untuk segala macam kebaikan
· Memberi nasihat kepada semua orang yang ia temui dan yang berkumpul
dengannya
· Menjadi juru dakwah yang mengajak manusia untuk kembali kepada Allâh
–subhânahu wa ta’âlâ-
· Menjadi pengingat manusia agar mereka tidak lalai
· Memotivasi manusia untuk terus taat kepada Allâh –subhânahu wa
ta’âlâ-
2.
Jika seseorang tidak memiliki
karakter di atas, maka, ia telah menjadi manusia yang tidak memiliki
keberkahan, bahkan keberadaannya menjadi penyebab hilangnya keberkahan.
3.
Suatu liqâ’ atau ijtimâ’ dapat
menjadi berkah manakala diisi oleh orang-orang yang memiliki karakter di atas,
dan agendanya memang memenuhi criteria seperti itu pula.
4.
Jika suatu liqâ’ atau ijtimâ’
telah kehilangan suasana seperti di atas, maka liqâ’ atau ijtimâ’ itu hanyalah
membuang-buang waktu dan merusak hati saja.
5.
Liqâ’ atau ijtimâ’ yang tidak
memenuhi kriteria seperti di atas, menjadi penyebab segala urusan dan
kemaslahatan berantakan dan berakibat mendatangkan segala macam kemadharatan.
6.
Suatu liqâ’ atau ijtimâ’ bisa
saja kehilangan kriteria-kriteria seperti di atas, jika para pengisinya, atau
pemimpinnya, atau pesertanya telah jatuh di Mata Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-,
na’ûdzu billâh min dzâlik.
Surat Ibn Al-Qayyîm ini
merupakan surat seorang mujarrib (berpengalaman) yang – insyaAllâh – dengan
bashîrah-nya telah memberikan penerangan kepada kita, bagaimana seharusnya kita
mengelola liqâ’ât dan ijtimâ’ât kita, agar kita, liqâ’ât dan ijtimâ’ât kita
menjadi sumber keberkahan dalam kehidupan di dunia ini yang akan kita nikmati
hasilnya di surge nanti, bi-idznillâh, Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar