Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 20 November 2013

Soegondo Djojopoespito, Berpolitik Sejak Remaja


Soegondo Djojopoespito, Ketua Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia dan Ketua Kongres Pemuda II, memiliki dikenal memiliki beragam profesi sepanjang perjalanan hidupnya.
Dalam wawancara dengan Sunarindrati, putri kedua Soegondo, yang saat ditemui Majalah Tempo pada 2008 telah berusia 71 tahun, melalui Majalah Tempo Edisi 36/37 tertanggal 2 November 2008 lewat tulisan yang berjudul "Peran Soegondo: Sang Pemimpin yang Redup" melukiskan kiprah Soegondo di dunia politik ini.
Sejak muda, Soegondo sudah tertarik pada politik. Namun, karena masih pelajar, ia belum dapat bergabung dengan partai politik. Meskipun demikian, ia sering menghadiri rapat-rapat umum. Jiwa kebangsaan kian kuat ketika Soegondo melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi, sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta pada 1925. Namun, sekolahnya tak tamat. “Beasiswa dari Belanda dicabut, karena ia aktif di politik,” kata Sunarindrati.
Saat kuliah, Soegondo menumpang di rumah pegawai pos di Gang Rijksman (sebuah kampung di sebelah utara Rijswik), Jalan Segara. Teman kosnya kebanyakan pegawai pos. Salah satunya pernah memberikan majalah ‘Indonesia Merdeka’ terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang dilarang masuk Indonesia. Setelah membaca majalah itu, mata Soegondo makin terbuka. Ia menyadari pentingnya meraih sebuah kemerdekaan. Ia ingin berbuat sesuatu. Soegondo lalu belajar dan berdiskusi politik dengan Haji Agus Salim. Teman-temannya dihubungi untuk membaca majalah terlarang itu dan berdiskusi di pemondokannya. Mereka antara lain Soewirjo dan Usman Sastroamidjojo, adik Ali Sastroamidjojo.
Pada 1926, Soegondo membentuk Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, terinspirasi oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda. Sigit terpilih sebagai ketua. Tugas khusus mereka adalah menghubungi mahasiswa-mahasiswa baru dan pemimpin perkumpulan pemuda untuk menularkan persatuan. Mereka membuat pamflet rahasia untuk menggulingkan Belanda.
Setahun berselang, Sigit meletakkan jabatan dan digantikan oleh Soegondo. Sebagai ketua baru, ia mengundang wakil-wakil perkumpulan, lalu membentuk panitia kongres pada Juni 1928.
Pada 1933, Soegondo masuk Partai Pendidikan Nasional Indonesia, pecahan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sebelumnya, di 1928, ia adalah simpatisan PNI. 
Bersama Sutan Sjahrir, Soegondo adalah satu dari delapan pendiri Partai Sosialis Indonesia pada 1948. Ia adalah anggota Politbiro Partai Sosialis Indonesia, merangkap Ketua Partai Sosialis Indonesia di Jawa Tengah/Daerah Istimewa Yogyakarta. “Ia ideolog Partai Sosialis,” kata Rosihan Anwar, tokoh pers Indonesia yang wafat tahun lalu. Menurut dia, Soegondo dan Djohan Sjahroezah termasuk perangkai ideologi partai ini. Sampai akhir hidupnya, Soegondo (22 Februari 1905-23 April 1978) menetap di Jalan Nyoman Oka, Kota Baru, Yogyakarta. Bersama Suwarsih Djojopoespito (1912-1977), istrinya, penyuka pepes bandeng panggang ini menulis artikel di majalah dan berpolitik di dalam dan luar negeri. Karyanya tidak terkenal, tapi Suwarsih dikenal sebagai novelis. Buku Suwarsih berjudul Manusia Bebas diterbitkan dalam bahasa Belanda dan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar