Soegondo
Djojopoespito, Ketua Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia dan Ketua Kongres
Pemuda II, memiliki dikenal memiliki beragam profesi sepanjang perjalanan
hidupnya.
Dalam wawancara dengan Sunarindrati, putri kedua Soegondo, yang saat ditemui
Majalah Tempo pada 2008 telah berusia 71 tahun, melalui Majalah Tempo
Edisi 36/37 tertanggal 2 November 2008 lewat tulisan yang berjudul "Peran
Soegondo: Sang Pemimpin yang Redup" melukiskan kiprah Soegondo di dunia
politik ini.
Sejak muda, Soegondo sudah tertarik pada politik. Namun, karena masih pelajar,
ia belum dapat bergabung dengan partai politik. Meskipun demikian, ia sering
menghadiri rapat-rapat umum. Jiwa kebangsaan kian kuat ketika Soegondo
melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi, sekarang Fakultas Hukum Universitas
Indonesia di Jakarta pada 1925. Namun, sekolahnya tak tamat. “Beasiswa dari
Belanda dicabut, karena ia aktif di politik,” kata Sunarindrati.
Saat kuliah, Soegondo menumpang di rumah pegawai pos di Gang Rijksman (sebuah
kampung di sebelah utara Rijswik), Jalan Segara. Teman kosnya kebanyakan
pegawai pos. Salah satunya pernah memberikan majalah ‘Indonesia Merdeka’
terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang dilarang masuk Indonesia. Setelah
membaca majalah itu, mata Soegondo makin terbuka. Ia menyadari pentingnya
meraih sebuah kemerdekaan. Ia ingin berbuat sesuatu. Soegondo lalu belajar dan
berdiskusi politik dengan Haji Agus Salim. Teman-temannya dihubungi untuk
membaca majalah terlarang itu dan berdiskusi di pemondokannya. Mereka antara
lain Soewirjo dan Usman Sastroamidjojo, adik Ali Sastroamidjojo.
Pada 1926, Soegondo membentuk Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia,
terinspirasi oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda. Sigit terpilih sebagai
ketua. Tugas khusus mereka adalah menghubungi mahasiswa-mahasiswa baru dan
pemimpin perkumpulan pemuda untuk menularkan persatuan. Mereka membuat pamflet
rahasia untuk menggulingkan Belanda.
Setahun berselang, Sigit meletakkan jabatan dan digantikan oleh Soegondo.
Sebagai ketua baru, ia mengundang wakil-wakil perkumpulan, lalu membentuk panitia
kongres pada Juni 1928.
Pada 1933, Soegondo masuk Partai Pendidikan Nasional Indonesia, pecahan Partai
Nasional Indonesia (PNI). Sebelumnya, di 1928, ia adalah simpatisan PNI.
Bersama Sutan Sjahrir, Soegondo adalah satu dari delapan pendiri Partai
Sosialis Indonesia pada 1948. Ia adalah anggota Politbiro Partai Sosialis
Indonesia, merangkap Ketua Partai Sosialis Indonesia di Jawa Tengah/Daerah
Istimewa Yogyakarta. “Ia ideolog Partai Sosialis,” kata Rosihan Anwar, tokoh
pers Indonesia yang wafat tahun lalu. Menurut dia, Soegondo dan Djohan
Sjahroezah termasuk perangkai ideologi partai ini. Sampai
akhir hidupnya, Soegondo (22 Februari 1905-23 April 1978) menetap di Jalan
Nyoman Oka, Kota Baru, Yogyakarta. Bersama Suwarsih Djojopoespito (1912-1977),
istrinya, penyuka pepes bandeng panggang ini menulis artikel di majalah dan
berpolitik di dalam dan luar negeri. Karyanya tidak terkenal, tapi Suwarsih
dikenal sebagai novelis. Buku Suwarsih berjudul Manusia Bebas diterbitkan
dalam bahasa Belanda dan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar