Dari dulu, usaha manusia untuk memunculkan dirinya sebagai makhluk hidup yang terbaik bagi orang lain dan lingkungan sekelilingnya selalu ada. Berbagai cara dilakukan agar dirinya menjadi damai dengan diri sendiri dan karenanya dia akan bisa damai untuk melakukan apa saja bagi keluarga, karib kerabat serta pengaduannya pada Pencipta Segala. Hidup menjadi sesuatu yang ternikmati serta bermanfaat pula bagi semua orang.
Perkembangan zaman, bangunan organisasi social, yang sejak awal kehidupan dimulai terus berlanjut pada tatanan tradisi, modern, dan pasca itu telah menambah banyak kemajuan-kemajuan baru. Dari sini mulai terasa adanya arah baru pula bagi perkembangan prilaku manusia. Kalau dulunya manusia bergerak dengan perangkat yang sedikit dan kecil maka manusia lebih terlihat natural dalam memunculkan dirinya.
Dengan kenyataan semacam itu hubungan social yang tercipta dalam perjalanan hidup manusia juga semakin jamak sesuai tuntutan yang datang dari luar dirinya. Bedanya, perangkat kecil dan sedikit akan menimbulkan distorsi kecil sehingga tidak begitu terlihat ditambah lagi ketika itu belum banyak pengaruh yang membangun peluang untuk berbuat banyak bagi kemungkinan-kemunkinan yang negatif, tapi perkembangan yang meluas distorsinya tentu lebih besar pula.
Hari ni, kenyataan itu semakin terlihat dan terpampang di depan mata. Lalu lintas informasi komunikasi dengan perangkatnya yang sedemikian canggih telah membuka semua itu dengan telanjang. Rasa malu dan tabu yang dulu amat berpengaruh dalam tatanan kehidupan berubah drastis. Banyak kabar dan prilaku manusia dibuka dan ditambah-kurangi berdasarkan keinginan dan kehendak yang ingin diujudkan.
Pertanyaannya adalah, sejauh manakah kehendak dari keinginan mereka itu dalam usaha keutuhan dan bangunan masyarakat yang dibawa serta di dalamnya, apa sebab dan Karena yang melatarinya? Hamparan dari jawaban dan kemungkinan semacam inilah yang sulit untuk diduga. Lintas komunikasi yang begitu semraut itu kemudian membeberkannya dalam berita-berita. Menyimak kenyataan yang berlalu lalang begitu saja banyak catatan yang bisa dituliskan.
Dari semua catatan itu, jika disaring dengan sempurna, maka muncullah istilah baru yang kata kuncinya tak lain adalah ‘pencitraan’ dan seluk-beluknya. Dua kata yang dijadikan akronim ini telah bias pula dalam kedudukan maknanya yang sesungguhnya. Disebabkan ‘kata’ pencitraan ini, yang sesungguhnya tanpa disadari adalah sebuah akronim maka begitu banyaklah beban yang terhilangkan karenanya dan pengucapannya pun bisa hadir tanpa beban.
Akibatnya tentu akan langsung berhadapan dengan kenyataan hidup manusia Indonesia hari ini. Ya! Sebagaimana makna dari rasa ke-‘hilang’-an itu sendiri yang berdampak besar pula bagi kehidupan kemanusiaan kita serta kondisi sosial budaya di negeri ini ketika ‘cita’ dan ‘rasa’ itu masih di-‘milik’-i sebelumnya. Ternyata akronim memang telah membunuh kata tanpa disadari.
Kalau sudah begini, prilaku social manusia Indonesia tentu telah tercerabut dari akarnya, sementara istilah dan serapan yang datang dari luar mengukuhkannya jadi kehilangan yang sesungguhnya. Apa yang akan disebut lagi jika pembilangnya telah dirampas oleh referensi-referensi yang dimamah dengan sukarela dan dibayar mahal bagi sebuah usaha agar disebut sebagai manusia intelektual yang (dianggap) berbudi.
Ketika ini dikembalikan pada akarnya, ya, sudah tentu tidak ketemu lagi jalan yang membuka. Perkembangan zaman telah menutup semua pintu bagi prilaku, usaha, serta keinginan dan cita-cita bersama founding father’s ketika mendirikan republic ini dengan landasan idiil Pancasila yang disebabkan oleh satu ucapan, “Penjajahan Bahasa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar