Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Kamis, 05 Juni 2014

Menyikapi Menang Atau Kalah dalam Pilpres

Dukungan masyarakat begitu besar kepada masing-masing calon presiden dan calon wakil presiden pilihan mereka. Tampak selalu antusiasme di Kompasiana ini, berbagai tulisan muncul, beraneka ragam, ada hasil riset, pembangunan opini berdasarkan data, atau gosip-gosip, kemudian komentar dibawah tulisan tersebut sesekali memojokkan salah satu calon, kemudian terjadi adu pendapat, tidak jarang berkhir caci-maki, dan tentu saja sangat tidak bagus untuk dibaca.
Kemudian saya berpikir bagaimana sikap pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden bila pasangan calon yang mereka dukung bila kalah dalam putaran pertama? Akankah mereka menuntut putaran kedua? Dengan kampanye yang begitu banyak di berbagai media cetak elektronik, sosial media telah menyebar, akankah menjadi sia-sia? Apakah mereka menggugat perhitungan suara? Atau yang lebih sederhananya apakah mereka marah, kemudian menuduh, caci-maki pasangan calon yang menang?
UU Pilpres yang belaku pada Pilpres mendatang adalah  UU no 42 tahun 2008. Dalam UU tersebut syarat memenangkan Pilpres  tercantum pada pasal 159 . Pada ayat 1 berbunyi:
Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Menurut hemat saya bila syarat diatas terpenuhi salah satu calon maka dia akan menang dalam satu putaran, bila tidak akan dilangsungkan dua putaran.

Menggugat Hasil Pilpres
Selama Orde Baru, tidak pernah dijumpai permasalahan pemilu berakhir pada proses di pengadilan. Tidak heran kalau kasus gugatan terhadap hasil pilpres menimbulkan pendapat dan pemahaman yang beragam. Ada yang berpandangan politik memang runyam. Melahirkan anggapan siapapun yang menang dalam pemilu di negara ini pasti akan direcoki. Para elite hanya cenderung berorientasi kepada kekuasaan. Bila gagal meraih kekuasaan maka apapun akan dilakukannya, termasuk menggugat hasil pemilu.
Jika tidak ada indikasi kecurangan atau pelanggaran atau kekeliruan atau apalah namanya, kecil kemungkinannya muncul gugatan seperti ini. Pendukung pasangan calon bisa menganggap sudah lama kecurangan dalam pilpres. Ini masih diteruskan meski katanya kita sudah masuk dalam era reformasi.
Kemudian kredibilitas MK diuji, karena tanggung jawab memutus perkara gugatan hasil pilpres kini berada di pundak Mahkamah Konstitusi (MK). Beban ini menjadikan posisi MK menjadi sangat dilematis mengingat keputusan dari kasus ini akan menimbulkan implikasi yang sangat luas bagi kehidupan politik di negara ini. Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 hasil amandemen Pasal 24C disebutkan, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sekarang, MK dituntut memutus perselisihan tentang hasil pilpres.
Dewan Pimpinan Pusat Partai (DPP) Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rochmin Dahuri pernah bercerita Megawati Soekarno Putri tidak pernah merasa sakit hati kepada SBY yang mengalahkannya pada Pilrpes 2004 dan 2009. Sebaliknya, Megawati justru merasa legawa dengan kekalahannya maju di Pilpres 2004 dan 2009. “Beliau (Megawati) menerima kekalahan itu dengan legawa,” kata Ketua DPP PDIP, Rochmin Dahuri ketika Rochmin menyatakan sikap legawa Megawati misalnya terlihat dari penolakan bersikap anarkis. Padahal saat itu, kata Rochmin, banyak massa pendukung Megawati yang tidak terima dengan kemenangan SBY karena menilai syarat kecurangan. Megawati, imbuh Rochmin, juga tidak mengambil langkah hukum atas kekalahan yang dialaminya dua kali berturut-turut.

Sikap Menerima Kekalahan
Bagi umat muslim cara menyikapi kekalahan terdapat dalam Al  Qur’an, tentang kisah peperangan Uhud dalam 60 ayat, yang terdapat dalam surah Ali ‘Imran dan dimulai dari ayat 121 hingga ayat 179. Penjelasan itu diawali dengan sebuah rekonstruksi yang menjelaskan latar belakang psikohistoris Perang Uhud (ayat 121) dan diakhiri dengan sebuah komentar penutup yang menggambarkan keseluruhan makna dan hikmah dari peristiwa tersebut (ayat 179). Allah SWT mengatakan :
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (Mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar.” (Ali ‘Imran: 179)
Dalam runtut penjelasan panjang itu, Allah Swt hendak mengajarkan kaum Muslimin cara yang tepat untuk menghadapi dan menyikapi kekalahan. Bahwasanya, bencana yang lebih besar dari kekalahan adalah apabila kita kehilangan kemampuan menentukan sikap dalam menghadapi kekalahan itu sendiri. Berikut penjelasannya;
  1. Pelajaran pertama. Untuk orang-orang kalah, mereka harus mempertahankan keseimbangan jiwa manakala kekalahan itu datang.
  2. Pelajaran kedua. Untuk orang-orang kalah, mereka harus mengetahui kalau kemenangan dan kekalahan itu sesungguhnya bukanlah situasi yang permanen (tetap). Kemenangan dan kekalahan adalah piala yang dipergilirkan oleh sejarah di antara semua umat. Maka, tidak ada umat yang dapat memenangkan semua babak pertarungan, juga tidak ada umat yang ditakdirkan untuk kalah selama-lamanya.
  3. Pelajaran ketiga. Untuk orang-orang kalah, kemenangan dan kekalahan sesungguhnya merupakan fenomena yang diatur oleh sebuah kaidah. Maka, setiap umat mempunyai hak untuk menang jika mereka memenuhi syarat-syarat kemenangan. Setiap umat pasti kalah jika sebab-sebab kekalahan itu ada dalam diri mereka.
Kegagalan adalah permainan yang memang harus dimainkan, dilewati dan disudahi. Ketika Kita gagal, masuklah kedalam proses kegagalan itu, periksa persoalan intinya dan berusahalah untuk memperbaikinya. Dengan demikian Kita akan menjadi manusia yang lebih bijaksana, lebih arif, dan lebih pandai. Ketika Kita dikecewakan, pergilah untuk beberapa saat, carilah penghiburan agar pikiran Kita bisa kembali fresh. Dengan demikian Kita akan lebih fokus dan presfektif Kita akan menjadi lebih baik. Siap menang harus juga siap kalah dong :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar