Salah satu head line Obor ialah PDIP Partai Salib, ketika itu ditulis orang biasa, tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan, namun saat seorang asisten dari staf ahli kepresidenan, tragis. Kebhinekaan sudah dinafikan, dan keberagaman dipertanyakan.
Diam dan plin-plan dari pihak istana bisa dimaknai sebagai pembiaran salah satu pemikirnya memiliki pemikiran “fundamentalis.” Lebih ironis lagi, bagian dari staf bidang yang jauh apa yang seharusnya digeluti. Bernadai-andai, karena menyatakan Salib dikaitan dengan PDIP, bisa diandaikan dia anti, terus, bisa tidak dia obyektif membantu Papua, NTT, yang masih jauh dari keadaan manusiawi, sedang dia sendiri “anti” dengan salib.
Bisa saja mengatasnamakan misionaris sebagai mencari umat dengan mie instan, kristenisasi, namun dilakukan orang ini sebagai tindak anti kristen, bisa saja menggunakan dana negara? Apakah kita tidak bisa juga mengandaikan mengapa pemerintah selalu diam terhadap perselisihan agama, karena ada orang-orang seperti ini? Bisa saja banyak “radikal-radikal” demikian yang belum terungkap. Akan ada jawaban “apes” seorang ini yang terungkap.
Mengerikan ketika bangsa sedang membangun semangat kebersamaan masih ada bagian staff yang memiliki pemikiran “radikal” seperti ini, pertama. Kedua, masalah finansial, jumlah kecil bagi penguasa dan pejabat, namun bagi rakyat Indonesia secara mayoritas itu besar sekali, dari mana? Asisten dari staf ahli saja kaya luar biasa, bagaimana yang atasan, atasan, dan atasan yang lebih tinggi lagi. Ketiga asisten staff ahli bidang pembangunan daerah tertinggal, malah sibuk berpolitik kacau, sedang daerah tertinggal belum ada perubahan signifikan. Mengapa diam saja, apakah tidak ada orang besar sekali di balik ini? Coba saya maling ayam dan ngaku seperti para bos Obor ini pasti sudah mati, hukum ada di mana, keempat. Kelima, managemen istana ini apakah tidak ada? Kog kaya rumah kyai lurah tahun 1800an, kemarin tidak ada, sekarang ada, lho? Keenam sikap arogan dan tidak merasa bersalah atas informasi salah, masih bersikukuh sebagai karya jurnalisme. Fatal kalau wartawan memiliki pemikiran sendiri-sendiri dan tidak taat azas. Ketujuh, kapolri dan jajarannya seperti federasi pentung internasional yang mengancam bagi yang bukan mayoritas.
Mari berdiskusi dengan kepala dingin bukan pentung untuk kebaikan bersama. Makin hari makin menggelikan pemikiran pejabat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar