Kegagalan sejumlah kerangka teoritis untuk memahami keindonesiaan seringkali berpangkal dari keketatan asumsi yang dibuat-buat. Ini memang memudahkan tertib logika, tapi sering kontraproduktif terhadap fakta.
Dalam salah satu sidang BPUPK, Soekarno mengusulkan kata “Mukadimah” untuk pembuka UUD 1945. Usul lain datang dari salah satu tokoh Masyumi yang justru menghendaki istilah “Pembukaan”. Saat banyak non-muslim belajar melafalkan “assalamu’alaykum” di muka umum, justru Gus Dur “menganjurkan” ucapan selamat siang, selamat sore, dan sejenisnya. Sementara sejumlah pihak bergelora mengkhilafahkan Indonesia, Kyai Mustofa Bisri justru mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, dan bukan orang Islam yang kebetulan ada di Indonesia.
Mudah saja cerita-cerita yang senada dideret berjilid-jilid. Pantaslah jika kemudian ditanyakan bagaimana kerangka yang tepat untuk menera kenyataan yang seolah kontradiktif itu? Cukupkah teks-teks standar yang berputar-putar dari meja perpustakaan kampus hingga meja konferensi mencernanya sebagai sebuah pola umum? Atau justru setiap fakta serupa akan diperlakukan sebagai suatu pengecualian?
Tanpa membelakangi sejumlah kerangka akademik dan temuannya yang telah ada, melihat lebih jujur fakta tentang Islam Nusantara barangkali lebih mengena. Dalam hemat saya, kacamata orientalistik yang selama ini sering dipakai, lebih dari cukup untuk mengaburkan pandangan.
Salah satu kekaburan itu bisa dengan mudah dirujuk pada salah-kaprah pembelahan antara “kelompok nasionalis” dan “kelompok islamis”. Pembelahan sejenis ini, yang kemudian berbuntut pada perbenturan semacam pro Pancasila vs kontra Pancasila atau modernis vs tradisionalis, acapkali mengakibatkan keliru pikir yang justru tak perlu dan, seringkali, merugikan kepentingan bersama (baca: Indonesia).
Kajian-kajian soal Islam (Islamic Studies) kerap beranjak dari keketatan asumsi yang kadang diimani secara berlebihan. Pendasarannya seringkali mengandung dua jenis watak laten. Jika tidak berbau kolonial, ya beraroma puritan. Yang pertama berambisi menaklukkan Islam hingga sudut-sudutnya yang terjauh. Sementara watak yang kedua amat berhasrat mencari islam yang murni dan menyingkirkan apa yang dianggap tak murni.
Dua watak laten ini akan membawakan akibat selanjutnya berupa penaklukkan fakta atas nama logika. Kajian macam ini akan melihat Islam sebagai sesuatu yang beku dan baku. Akibatnya, Islam dilihat secara serampangan seperti program KB yang mudah diperiksa proposal dan laporannya. Akibat berikutnya, ini yang fatal, orang Indonesia yang memeluk Islam justru digiring untuk terasing dari kenyataan hidupnya sendiri.
Maklum belaka, kawasan strategis yang kini bernama Indonesia ini, sejak dulu senantiasa menjadi rebutan dan sengketa kekuasaan dalam skala global. Di sini tidak hanya Cina, Arab, India pernah bertemu, pelayaran Spayol pernah betarung dengan ekspoedisi Portugis. Sempat pula, selama perang dunia kedua, Jepang bersitegang dengan tentara sekutu. Dan kini, Nusantara menjadi persinggahan dan pesemaian kelompok radikal baik dari Mesir, dari Saudi Arabia,dari Afganisatan, Irak dan sebagainya. Di sisi lain, kelompok liberal dan kelompok ateis juga berkembang pesat saat ini (Mun’im DZ, 2010).
Sebelum nama Indonesia dipakai, istilah Desantara, Dipantara dan kemudian Nusantara lebih dulu ada. Nama-nama itu secara harafiah memanfaatkan kata antara bukan semata sebagai penanda geografis, tapi lebih sebagai identitas geo-kultural dan geo-politik. Di situ laut, misalnya, dialami dan dinyatakan bukan sebagai pemisah, tapi penyambung hubungan antar pulau. Kata antara menyiratkan dengan jelas suatu proses.
Dengan menekankan pengalaman dan kenyataan itulah, Islam Nusantara merupakan pemahaman keislaman yang bergumul, berdialog, dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara, dengan melalui proses seleksi, akulturasi dan adaptasi (Mun’im DZ, 2010). Islam yang penuh pengalaman bergumul dengan berbagai kebudayaan dunia tidak bisa serta merta dipandang sebagai Islam yang bid’ah, tidak murni, melenceng dan sebagainya. Nusantara justru menjadi contoh nyata Islam yang teruji karena mampu bertahan dan berkembang justru dalam perjumpaannya dengan kebudayaan Arab, Persia, Hindu India, Konfusianisme Tiongkok, kolonialisme-imperialisme, dan seterusnya.
Secara sederhana, Islam Nusantara merupakan satu proses terus menerus, ketimbang bentuk jadi yang siap santap. Sejarah Islam antara lain menyejarah melalui Islam Nusantara, sebagaimana ia terus dialami dan dihayati oleh para pemeluknya dari hari ke hari. Jika pengalaman dan kenyataan begitu cair, sebaliknya struktur pengetahuan kolonialistik dan puritanistik justru berusaha memisah dan membelahnya secara dikotomis. Apa saja yang bersifat “antara” niscaya diperlakukan sebagai garis pemisah. Sementara pengalaman dan kenyataan islam Nusantara akan menghormatinya sebagai garis penghubung.
Dalam cara pandang kolonialistik dan puritanistik itulah, sejumlah salah kaprah beranak pinak. Pada sejumlah kasus kekerasan, konflik, ataupun teror yang mengatasnamakan agama, pembenaran didapat dari nalar dikotomis: karena kami benar dan kalian sesat, maka kami berhak memberangus hak hidup kalian. Dengan begitulah, kita mendapatkan pemahaman bahwa tindak onar atas nama agama yang belakangan muncul di sejumlah daerah berasal antara lain dari korupsi makna atas capaian peradaban Islam Nusantara. Dengan demikian terlihat pula, sejak hulu hingga hilir, struktur pengetahuan kolonial dan puritan selalu mengabaikan kemaslahatan bersama penduduk nusantara. Di atas meja mengejek, di lapangan menginjak.
Kerangka kolonial dan puritan selalu menggelar arena kolosal untuk bertanding. Sementara Islam Nusantara lebih terpanggil membangun aula bersama untuk bersanding. Kalimat ini dengan mudah bisa dijumpai dalam keseharian, satu proses yang tak bisa ditangkap secara cerdas oleh narasi mainstream media massa. Contoh mudahnya ialah suasana di sekitar makam Gus Dur di Jombang.
Nah, apakah kemudian Islam Nusantara tak berhasrat pada budaya tanding sama sekali? Bolehlah kita mengaji pada pengalaman Perang Jawa (Diponegoro) atau Resolusi Jihad (Hadratussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari). Dua epik sejarah itu menunjukkan bahwa selama kemaslahatan tanah air nusantara dan penduduknya diobrak-abrik, Islam Nusantara akan melawan. Struktur pengetahuan dan politik kolonial yang kini banyak berkinerja melalui fundamentalisme pasar, serta propaganda Islam puritan yang beroperasi melalui fundamentalisme agama, ialah musuh Islam Nusantara. Sebagaimana keduanya adalah seteru bagi siapa saja penduduk Indonesia yang faham betul apa arti dan harga membela tanah air.
Penulis adalah peneliti Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) JakartaIslam Nusantara; Bersanding dan BertandingOleh: Muchamad Nabil Haroen
Kegagalan sejumlah kerangka teoritis untuk memahami keindonesiaan seringkali berpangkal dari keketatan asumsi yang dibuat-buat. Ini memang memudahkan tertib logika, tapi sering kontraproduktif terhadap fakta.
Dalam salah satu sidang BPUPK, Soekarno mengusulkan kata “Mukadimah” untuk pembuka UUD 1945. Usul lain datang dari salah satu tokoh Masyumi yang justru menghendaki istilah “Pembukaan”. Saat banyak non-muslim belajar melafalkan “assalamu’alaykum” di muka umum, justru Gus Dur “menganjurkan” ucapan selamat siang, selamat sore, dan sejenisnya. Sementara sejumlah pihak bergelora mengkhilafahkan Indonesia, Kyai Mustofa Bisri justru mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, dan bukan orang Islam yang kebetulan ada di Indonesia.
Mudah saja cerita-cerita yang senada dideret berjilid-jilid. Pantaslah jika kemudian ditanyakan bagaimana kerangka yang tepat untuk menera kenyataan yang seolah kontradiktif itu? Cukupkah teks-teks standar yang berputar-putar dari meja perpustakaan kampus hingga meja konferensi mencernanya sebagai sebuah pola umum? Atau justru setiap fakta serupa akan diperlakukan sebagai suatu pengecualian?
Tanpa membelakangi sejumlah kerangka akademik dan temuannya yang telah ada, melihat lebih jujur fakta tentang Islam Nusantara barangkali lebih mengena. Dalam hemat saya, kacamata orientalistik yang selama ini sering dipakai, lebih dari cukup untuk mengaburkan pandangan.
Salah satu kekaburan itu bisa dengan mudah dirujuk pada salah-kaprah pembelahan antara “kelompok nasionalis” dan “kelompok islamis”. Pembelahan sejenis ini, yang kemudian berbuntut pada perbenturan semacam pro Pancasila vs kontra Pancasila atau modernis vs tradisionalis, acapkali mengakibatkan keliru pikir yang justru tak perlu dan, seringkali, merugikan kepentingan bersama (baca: Indonesia).
Kajian-kajian soal Islam (Islamic Studies) kerap beranjak dari keketatan asumsi yang kadang diimani secara berlebihan. Pendasarannya seringkali mengandung dua jenis watak laten. Jika tidak berbau kolonial, ya beraroma puritan. Yang pertama berambisi menaklukkan Islam hingga sudut-sudutnya yang terjauh. Sementara watak yang kedua amat berhasrat mencari islam yang murni dan menyingkirkan apa yang dianggap tak murni.
Dua watak laten ini akan membawakan akibat selanjutnya berupa penaklukkan fakta atas nama logika. Kajian macam ini akan melihat Islam sebagai sesuatu yang beku dan baku. Akibatnya, Islam dilihat secara serampangan seperti program KB yang mudah diperiksa proposal dan laporannya. Akibat berikutnya, ini yang fatal, orang Indonesia yang memeluk Islam justru digiring untuk terasing dari kenyataan hidupnya sendiri.
Maklum belaka, kawasan strategis yang kini bernama Indonesia ini, sejak dulu senantiasa menjadi rebutan dan sengketa kekuasaan dalam skala global. Di sini tidak hanya Cina, Arab, India pernah bertemu, pelayaran Spayol pernah betarung dengan ekspoedisi Portugis. Sempat pula, selama perang dunia kedua, Jepang bersitegang dengan tentara sekutu. Dan kini, Nusantara menjadi persinggahan dan pesemaian kelompok radikal baik dari Mesir, dari Saudi Arabia,dari Afganisatan, Irak dan sebagainya. Di sisi lain, kelompok liberal dan kelompok ateis juga berkembang pesat saat ini (Mun’im DZ, 2010).
Sebelum nama Indonesia dipakai, istilah Desantara, Dipantara dan kemudian Nusantara lebih dulu ada. Nama-nama itu secara harafiah memanfaatkan kata antara bukan semata sebagai penanda geografis, tapi lebih sebagai identitas geo-kultural dan geo-politik. Di situ laut, misalnya, dialami dan dinyatakan bukan sebagai pemisah, tapi penyambung hubungan antar pulau. Kata antara menyiratkan dengan jelas suatu proses.
Dengan menekankan pengalaman dan kenyataan itulah, Islam Nusantara merupakan pemahaman keislaman yang bergumul, berdialog, dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara, dengan melalui proses seleksi, akulturasi dan adaptasi (Mun’im DZ, 2010). Islam yang penuh pengalaman bergumul dengan berbagai kebudayaan dunia tidak bisa serta merta dipandang sebagai Islam yang bid’ah, tidak murni, melenceng dan sebagainya. Nusantara justru menjadi contoh nyata Islam yang teruji karena mampu bertahan dan berkembang justru dalam perjumpaannya dengan kebudayaan Arab, Persia, Hindu India, Konfusianisme Tiongkok, kolonialisme-imperialisme, dan seterusnya.
Secara sederhana, Islam Nusantara merupakan satu proses terus menerus, ketimbang bentuk jadi yang siap santap. Sejarah Islam antara lain menyejarah melalui Islam Nusantara, sebagaimana ia terus dialami dan dihayati oleh para pemeluknya dari hari ke hari. Jika pengalaman dan kenyataan begitu cair, sebaliknya struktur pengetahuan kolonialistik dan puritanistik justru berusaha memisah dan membelahnya secara dikotomis. Apa saja yang bersifat “antara” niscaya diperlakukan sebagai garis pemisah. Sementara pengalaman dan kenyataan islam Nusantara akan menghormatinya sebagai garis penghubung.
Dalam cara pandang kolonialistik dan puritanistik itulah, sejumlah salah kaprah beranak pinak. Pada sejumlah kasus kekerasan, konflik, ataupun teror yang mengatasnamakan agama, pembenaran didapat dari nalar dikotomis: karena kami benar dan kalian sesat, maka kami berhak memberangus hak hidup kalian. Dengan begitulah, kita mendapatkan pemahaman bahwa tindak onar atas nama agama yang belakangan muncul di sejumlah daerah berasal antara lain dari korupsi makna atas capaian peradaban Islam Nusantara. Dengan demikian terlihat pula, sejak hulu hingga hilir, struktur pengetahuan kolonial dan puritan selalu mengabaikan kemaslahatan bersama penduduk nusantara. Di atas meja mengejek, di lapangan menginjak.
Kerangka kolonial dan puritan selalu menggelar arena kolosal untuk bertanding. Sementara Islam Nusantara lebih terpanggil membangun aula bersama untuk bersanding. Kalimat ini dengan mudah bisa dijumpai dalam keseharian, satu proses yang tak bisa ditangkap secara cerdas oleh narasi mainstream media massa. Contoh mudahnya ialah suasana di sekitar makam Gus Dur di Jombang.
Nah, apakah kemudian Islam Nusantara tak berhasrat pada budaya tanding sama sekali? Bolehlah kita mengaji pada pengalaman Perang Jawa (Diponegoro) atau Resolusi Jihad (Hadratussyaikh Kyai Hasyim Asy’ari). Dua epik sejarah itu menunjukkan bahwa selama kemaslahatan tanah air nusantara dan penduduknya diobrak-abrik, Islam Nusantara akan melawan. Struktur pengetahuan dan politik kolonial yang kini banyak berkinerja melalui fundamentalisme pasar, serta propaganda Islam puritan yang beroperasi melalui fundamentalisme agama, ialah musuh Islam Nusantara. Sebagaimana keduanya adalah seteru bagi siapa saja penduduk Indonesia yang faham betul apa arti dan harga membela tanah air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar