Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 02 Juli 2014

Umat Islam Indonesia, Waspadalah

Musim kampanye Pilpres 2014 yang tinggal beberapa hari ini menyuguhkan tontonanpersaingan yang sangat ketat dan juga panas. Bagi orang yang rajin membuka akun dunia mayanya, bakal menemukan perseteruan alot antar dua pihak.
Sudah banyak orang yang jenuh dengan status dan komentar yang saling menyerang. Salah seorang sahabat muslim saya menulis di status facebook-nya: “Sekali lagi kunci keberkahan adalah penduduknya yg beriman dan bertaqwa. Maaf-maaf, sekali lagi maaf, membaca apa yang Anda posting di medsos ini, adu argumen (jidal, berbantah-bantah), sebar data yang wallahu ta’ala alam valid apa tidak sudah cukup menjawab kenapa negeri ini seperti tidak diberkahi. Mohon stop isu capres. Buatlah status yg manfaat saja!! Semoga Allah mengampuni kita semua.”
Meski sesama muslim, sahabat saya ini berbeda pilihan capres dengan saya. Tetapi dia jenis orang yang terbuka pikirannya. Kami bertukar pikiran soal kepemimpinan nasional. Ada banyak kesamaan kami dibandingkan perbedaan kami. Saya renungkan mengenai perbedaan kami ini kok mirip ungkapan orang melihat sebuah gelas yang berisi air hanya separuhnya. Bagi sebagian orang, gelas itu disebut “setengah penuh” dan bagian sebagian orang lainnya gelas itu disebut “setengah kosong.”
Itu adalah cara pandang.
Dan kalau cara pandang seperti itu dipadukan dengan perilaku menggampangkan (atau menyederhanakan secara ekstrim), maka tidaklah mengejutkan bahwa masyarakat Islam Indonesia bisa terbelah dua dalam mendukung kedua capres. Masyarakat/umat Islam pendukung Prabowo-Hatta merasa jelas mengapa mereka memilih dan mendukung Prabowo dan sulit memahami mengapa masyarakat/umat Islam selebihnya lebih memilih Jokowi-JK.
Sebaliknya juga demikian, umat Islam pendukung Jokowi-JK merasa jelas mengapa mereka memilih dan mendukung Jokowi-JK dan sekaligus sulit memahami mengapa umat Islam selebihnya lebih memilih Prabowo-Hatta.
Kita tak perlu mendiskusikan di sini, bahwa salah satu pihak kurang akurat dalam menganalisa pilihan mereka. Bahwa mereka kurang jujur pada diri sendiri dalam mendukung Capres-Cawapres pilihan mereka. Bukan itu tujuan adanya tulisan ini.
Yang disayangkan adalah masyarakat/umat Islam Indonesia dipandang hanya sebagai angka saja. Meski ada umat dari agama lain, karena umat Islam masih mayoritas (87-88%), maka hitungan hasil survei bulan Juni dari berbagai pihak bisa menjadi bahan diskusi.
Survei Litbang Kompas menunjukkan komposisi pemilih Prabowo-Hatta 35,3%, Jokowi-JK 42,3%. Ada selisih sekitar 7%. Sementara Indo Barometer yang mengadakan survei tepat setelah Kompas (Litbang Kompas mengadakan survei 1-15 Juni 2014, sedangkan Indo Barometer 16-22 Juni), menunjukkan bahwa pemilih Prabowo-Hatta 42,6%, pemilih Jokowi-JK 46%. Terjadi kenaikan pada kedua capres, tetapi kenaikan pemilih Prabowo (sebesar 7,3%) menunjukkan peningkatan lebih besar daripada pemilih Jokowi-JK (sebesar 3,7%). Analisa saya seperti ini sekedar memudahkan saja untuk menganalisa tentang umat Islam, karena masyarakat yang belum menentukan pilihan turun tajam dari 22,4% di survei Kompas ke 11,4% di survei Indo Barometer. Sekali lagi, ini hanya untuk memudahkan analisa secara cepat saja.
Mengapa bisa terjadi kenaikan tajam seperti itu (dengan asumsi hal itu mendekati kebenaran)?
Adalah jelas kasat mata dari data itu bahwa banyak orang Islam yang tadinya belum punya pilihan kini bisa menentukan pilihan. Yang menarik adalah mencari tahu apa yang menyebabkan mereka kini bisa tegas menentukan capres mana yang bakal mereka pilih di tanggal 9 Juli 2014?
Saya tidak dalam kapasitas menjawab itu dengan analisa panjang dan tajam. Saya hanya ingin mengangkat sebuah fenomena, yaitu banyaknya umat Islam yang memilih berdasarkan asas yang dalam ilmu marketing disebut sebagai trickle-down effect dantrickle-accross effect.
Trickle-down effect maksudnya adalah pengaruh dari atas terus merembes ke jenjang-jenjang di bawahnya sampai pada terbawah; yaitu kalangan dari segmen atas masyarakat mempengaruhi kalangan dari segmen menengah yang ada di bawahnya, dan ini terus mempengaruhi kalangan dari segmen di lapisan terbawah. Ini sangat berkenaan dengan mode, atau opini tentang mode.
Demikian pula halnya dengan membangun opini capres pilihan yang muslim; yaitu dariopinion leader di masyarakat Islam yaitu ulama dan ustadz, turun ke orang terdekatnya, yang terus turun ke orang lain (yang jenjangnya di bawahnya), terus demikian hingga pada orang yang berada di lapis terbawah di masyarakat Islam.
Dan itu saya saya saksikan dalam dua situasi. Seorang kenalan yang menjadi pengurus masjid mengatakan pada saya bahwa kita sudah jelas memilih siapa, karena kelompok “kita” banyaknya ada di pihak siapa. Pada situasi lain, dari seseorang ibu yang anggota majlis taklim yang bercerita mengenai salah satu guru pengajiannya mengatakan bahwa salah satu capres adalah keturunan Cina dan sesungguhnya beragama Nasrani (Kristen).
Itu contoh trickle-down effect.
Sedangkan trickle-across effect adalah pertemanan yang saling mempengaruhi. Dalam marketing, teman membeli merek apa, itu mempengaruhi teman lain yang akan membeli produk yang serupa. Demikian pula dengan pengaruh memilih capres pada tanggal 9 Juli nanti. Alasan dan pertimbangan teman bisa amat mempengaruhi.
Yang disayangkan adalah umat Islam yang mayoritas mudah dipengaruhi oleh berita yang tidak benar, berita bohong yang menyesatkan. Dan disayangkan juga banyak ulama dan umara’ (=pejabat yang muslim) yang masih belum bisa berperilaku “mendahulukan kepentingan umat dibandingkan kepentingan diri sendiri” dan berperilaku “berani berjuang meski dengan risiko rejeki finansial tersendat (sementara).”
Umat Islam Indonesia sampai hari ini, setelah 69 tahun kemerdekaan RI, masih menjadi obyek sebagai alat untuk meraih kursi kekuasaan, bahkan untuk menuju RI 1. Bukan salah umat beragama lain, melainkan lebih pda kesalahan kebanyakan ulama dan ulil albab. Kecintaan pada hal-hal keduniaan mengalihan perhatian pada maksud agama Islam, yaitu rahmatan lil’aalamiin. Rahmat bagi umat Islam dan bagi umat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar