Sekitar 15 tahun yang lalu saya mulai merasa mengenal warga Palestina. Anak-anak Palestina yang tanpa takut melempar tentara Israel dengan batu-batu kecil. Sekecil kepalan tangan mereka. Ibu-ibu Palestina yang sudah kering air matanya, ikhlas mewakafkan nyawa putra-putri mereka demi perjuangan kemerdekaan. Bapak-bapak yang mencium kening istri dan anak-anak mereka, mungkin untuk yang terakhir kali. Sebelum senjata-senjata canggih Israel menghancur luluhkan tubuhnya. Atau hilang tanpa bekas disergap agen-agen Mossad Israel.
Jangan berfikiran saya pernah ke Palestina. Bukan. Bukan saya pernah ke sana. Saat itu saya masih remaja. Masih duduk di bangku SMA. Sebuah majalah mungil senantiasa beredar dikalangan kami. Majalah Islami memang. Tapi isinya tidak ekstrim. Hanya pengetahuan agama atau cerita-cerita yang kadang menyentuh, kadang juga lucu. Namanya majalah Annida (Sekarang tidak terbit secara konvensional lagi, tapi online: http://annida-online.com/).
Dalam majalah mungil ini terdapat kolom “Epik.” Berisi Cerpen-Cerpen bernuansa sastra yang biasanya dengan latar belakang penderitaan atau perjuangan-perjuangan Muslim Bosnia atau Palestina. Persis seperti kejadian sebenarnya. Membaca cerpen-cerpen ini membuat jiwa kita seolah mengembara ke dua negeri itu. Menyelinap diantara desingan-desingan peluru tentara Serbia dan Israel. Mendengar ratap tangis anak-anak yang menguncang-guncang mayat ibunya yang terkena serpihan bom atau bangunan yang hancur. Merasakan pengapnya terowongan-terowongan bawah tanah sebagai jalan keluar masuk ke Palestina. Atau ikut merasakan semangat seorang pemuda yang dengan gagah berani menghadapi tentara-tentara yang menyerbu kampungnya.
Begitu kuat cerita-cerita dalam Cerpen itu merasuk dalam jiwa. Tidak seperti sekedar membaca berita koran atau menonton berita televisi. Sampai-sampai saat tidur suara tangis, desingan peluru dan teriakan-teriakan mereka terbawa mimpi.
Saat itu tiba-tiba saya sangat cinta dengan mereka. Saudara-saudara yang jauh di sana itu. Di dua negeri yang bernama Bosnia dan Palestina. Ingin saya menemui mereka, sekedar memeluk atau menitikkan air mata di depan mereka. Atau menjabat tangan mereka untuk memberi semangat. Ini hampir mustahil terjadi. Tapi saya ingin dekat dengan mereka. Setidaknya merasa dekat.
Sejak saat itu saya selalu membaca cerita-cerita tentang mereka. Membaca berita-berita tentang mereka. Dan menggunakan kaos yang ada gambar mereka. Kaos-kaos produksi Al-Quds. Yang saya beli dengan transfer bank dan dikirimi lewat Kantor POS. Sampai saat inipun stiker bendera Palestina selalu menempel di motor saya. Merah, putih dan hijau. Meski sejak sejak penyerbuan Israel ke Gaza beberapa waktu yang lalu. Saya tidak mau lagi mendengar tentang mereka. Tidak mau lagi membaca kisah-kisah mereka. Terlalu menyakitkan dan pilu. Saya merasa putus asa, karena tidak bisa berbuat apa-apa. Saya serahkan semuanya pada kehendak Ilahi.
Sampai saat penyerbuan Israel kembali pada bulan Ramadhan ini. Bagaimanapun saya menghindari berita tentang Palestina, tidak berhasil. Media-media menulis atau menayangkannya. Tokoh-tokoh membicarakannya. Teman-teman memperbincangkannya. Saya seolah-olah dipaksa untuk ikut kembali menyaksikan penderitaan mereka.
Saya mulai ragu. Mungkin tidak tepat sikap saya. Saya mulai ingin seperti dulu lagi. Membaca kisah-kisah mereka dan memberikan donasi melalui lembaga-lembaga sosial untuk mereka. Mereka menderita, kita harus berbuat. Sekecil apapun itu. Meski hanya sumbangan 5.000 rupiah.
Mari kita lakukan saudara-saudaraku. Baca kisah-kisah tentang mereka. Jalin ikatan bathin. Rasakan desah nafas mereka. Berikan sumbangan. Lembaga-lembaga sosial untuk ini sangat gampang kita temukan baik di dunia nyata atau melalui pencarian Google. Selamat berbuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar