“People don’t buy what you do; they buy why you do it. And what you do simply proves what you believe” ― Simon Sinek, Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action
Suatu pagi dalam perjalanan saya ke kantor di tengah kemacetan jalan kampung melayu saya menengok keluar dari dalam mobil saya. seorang bapak kurus penjual roti sepeda sedang berjuang me-manuver jalan dikelilingi mobil. udara agak terik walau masih pagi, jadi si bapak sudah keringatan. roti jualannya masih penuh.
Saya mendadak terenyuh. Anda dan saya kenal bapak ini. Beliau mungkin berpendapatan kurang dari Rp.500ribu per bulan dan tinggal di bedeng2 di bawah jembatan jalan tol yang kita lewati kalau kita mau ke Bandara Soetta. Beliau mungkin adalah seorang bapak yang suatu hari berkata pada anaknya ‘nak, kamu jangan berharap sekolah tinggi tinggi ya, bapak cuma mampu sekolahkan kamu sampai SD.’
Mendadak ada yang menusuk dada saya, dan mata saya berair. Kepentingan pilpres ini bukan untuk anda dan saya, tapi untuk bapak didepan (kebetulan saya hanya melihat muka di bapak sekilas, saya hanya ada foto beliau dari belakang) dan jutaan warga Indonesia lainnya. Mereka adalah masyarakat miskin yang puluhan tahun dijadikan subjek kampanye politik untuk membangun massa namun sampai saat ini belum mendapatkan penghidupan yang layak. Walau tingkat kemiskinan sudah membaik dibanding 20-30 tahun lalu, mayoritas warga Indonesia masih dibawah garis kemiskinan, ya hidup dengan Rp.500ribu sebulan itu.
Lalu datanglah Jokowi. Sejak awal ada yang aneh dari Jokowi ini, dia bukan hanya berbicara dan berjanji2 mengenai rakyat kecil, tapi tampak fascinated (terkagum kagum) dengan mereka. Kalau ada waktu luang sedikit, buru buru mendatangi masyarakat miskin. Mengunjungi pasar-pasar tradisional dan tersenyum-senyum saja tangannya ditarik-tarik warga. Apa guna citra tanpa kebijakan, anda bertanya. Kebijakan yang paling awal dilakukan si Bapak diberikan untuk rakyat kecil. Jika saya perhatikan prinsip kebijakan Jokowi selalu konsisten, membuka akses untuk warga berpendapatan terendah. Dana untuk kesehatan dan pendidikan sudah sangat besar. Alokasi APBN untuk pendidikan adalah Rp.81 Triliun dan untuk kesehatan Rp. 41 Triliun (sumber: www.kemenkeu.co.id) dan untuk menjamin akses terhadap dana tersebut adalah melalu sistem ‘satu pintu’, Kartu Pintar dan Kartu Sehat. Prinsip yang sama diterapkan untuk transportasi umum. Pengatasan kemacetan bukan yang paling utama karena itu kepentingan pemilik mobil. Yang penting adalah perbaiki kinerja kopaja dan busway dulu. Saya sebagai pengguna jalan agak kesal dengan macetnya Jakarta, tapi didalam hati saya mengerti dan mendukung prioritas si bapak.
Tanggal 26 Juni 2014 saya datang ke satu temu wicara Jokowi dengan komunitas internet (Netizen) . Bagian dari acara adalah pemberian token dari calon pemilih kepada Jokowi. Datang ke atas panggung dua bapak penarik becak dari Jogja, pak ‘Aris Van Java’ dan temannya - yang menarik becaknya dari Jogja ke Jakarta. Kedua Bapak ini berhenti di setiap pemukiman sepanjang perjalanan dari Jogja ke Jakarta tersebut untuk mencari dukungan terhadap Jokowi, banyak dari warga yang menyumbang uang mereka apa adanya. Kalimat yang diucapkan pak Aris di panggung adalah sebagai berikut: ‘pak Jokowi, saya tidak punya apa apa tapi saya punya dengkul dan saya sudah niatkan dengkul saya untuk mendukung bapak semaksimal mungkin’. Si Bapak penarik becak berbicara dengan suara keras namun serak menahan nangis, ruangan yang diisi ratusan orang mendadak menyimak, sebagian besar mata di ruangan itu berkaca kaca.
Jika Jokowi sukses jadi Presiden dan sebagian besar kebijakannya tidak teralisasi, saya kok yakin ya beliau masih akan dekat dengan wong cilik. Kalau ia tidak menang pun, kita pasti akan tetap lihat Jokowi blusukan ke kampong -kampung. Pemilu kali ini bukan hanya mengenai anda dan saya, tapi mengenai jutaan rakyat yang makin kebelakang makin jelas mau nya apa. Sekali-sekali kita jadikan rakyat kecil pemenang Pemilu di negeri ini.
Saya akan amat bersyukur jika tulisan diatas berhasil menggerakkan hati pembaca untuk memilih Jokowi. Jika tidak, anggaplah tulisan ini sebagai tribute saya untuk Bapak Penjual Roti Sepeda di Kampung Melayu, pak Aris dan temannya dari Jogja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar