Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 23 Juli 2014

Maaf Memaafkan; Tak Sesederhana yang Diucapkan


Keberanian meminta maaf dan kerelaan untuk memaafkan sebenarnya bukan persoalan yang sederhana. Ia sarat dengan beban psikologis, kemeriahan kultural dan dimensi spiritual. Dikatakan beban psikologis karena meminta maaf itu tidak mudah. Meminta maaf itu pada dasarnya berat karena ada pertaruhan gengsi pribadi, harga diri, rasa malu, ketulusan niat dan sejenisnya.
Begitu pun sebaliknya. Memberi maaf juga tidak kalah beratnya karena harus berangkat dari kemurnian nurani untuk melupakan sakit hati yang dialami. Faktor inilah yang barang kali menjadi penyebab banyak orang saling bermusuhan dan tidak saling menyapa dalam rentang waktu yang lama meski pun mereka itu sebenarnya bersaudara.
Karena persoalan maaf memaafkan antar personal manusia pada umumnya begitu berat untuk dilakukan, maka diperlukan campur tangan kemeriahaan kultural. Maksudnya, harus ada semacam pengkondisian lingkungan yang bersifat rutin untuk mendorong terciptanya kebiasaan meminta maaf dan memberi maaf secara massal. Dengan begitu, beban psikologis peminta maaf dan pemberi maaf tidak lagi begitu berat terasa.
Pada titik inilah, tradisi umat muslim negeri ini di setiap selesai puasa ramadhan untuk saling meminta maaf menemukan garis relevansinya. Pada hari-hari itu, suasana Hari Raya Idul Fitri seakan-akan mampu menciptakan kejernihan pikiran, ketenangan batin, kesucian hati dan dorongan psikologis untuk berani meminta maaf dan siap memaafkan.
Namun, aspek psikologis-kultural ini sangat berhubungan erat dengan dimensi spiritual. Maksudnya, tidak ada satu pun jenis ilmu pengetahuan yang bisa membuktikan secara ilmiah terkait ikhlas tidaknya meminta maaf ketika Idul Fitri tiba. Tidak ada satu pun jenis penelitian yang bisa membuktikan secara empiris tentang tulus tidaknya hati seseorang yang memberi maaf dikala hari raya. Bahkan, tidak ada satu pun jenis teknologi yang mampu menunjukkan orang yang saling berkirim sms atau kartu lebaran dengan disertai kalimat-kalimat puitis yang sarat dengan kata-kata indah serta gambar-gambar unik, benar-benar berasal dari kemurnian niat.
Bisa saja orang yang meminta maaf meski sambil meneteskan air mata tidak berangkat dari kesadaran diri tapi sekedar berpura-pura. Bisa juga orang yang memberi maaf juga tidak berasal dari keikhlasan hatinya tapi lebih karena situasi yang terpaksa. Bahkan, tidak menutup kemungkinan kalau tulisan-tulisan itu hanya sekedar bagian dari ekspresi diri dalam ikut serta memeriahkan kemeriahan hari raya.
Maka persoalan maaf memaafkan kemudian sangat berhubungan dengan dimensi ketuhanan. Artinya, hanya Tuhan saja yang paling tahu siapa diantara hambaNya yang meminta maaf dan memberi maaf dengan hati yang tulus. Karena itu, wajar bila kemurnian niat peminta dan pemberi maaf kemudian mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Tuhan. Kemuliaan derajat orang yang meminta maaf disebabkan dosa vertikalnya sudah terhapus lantaran telah dimaafkan kesalahannya oleh sesama. Sedangkan kemuliaan derajat orang yang memaafkan karena ketika mau memberi maaf, detik itu pula dia telah mensifati dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan.
Ternyata, maaf-memaafkan itu memang bukan sekedar persoalan yang sederhana. Karena itu, menjelang idul fitri ini, dengan segala kerendahan hati, saya benar-benar memohon maaf kepada anda atas semua kesalahan yang pernah saya perbuat. Semoga pada hari raya kali ini, kita termasuk golongan minal a’idzin wal fa’izin. Amin ya robb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar