Antara enam atau tujuh tahun yang lalu, ketika Daerah Khusus Ibukota Jakarta terendam air dalam skala cukup parah, ada sebuah rumah di kawasan Sunter yang ikut terendam banjir juga. Sebut saja nama pemiliknya, Ani (tentu bukan nama sebenarnya). Diperlukan waktu satu minggu untuk membersihkan kotoran, lumpur dan tanda air di tembok.
Pada hari terakhir kerja bakti tersebut, Ani si pemilik rumah tersebut mendapat pesan singkat di telepon genggamnya, ternyata dari teman satu alumni di salah satu universitas di kota Salatiga, yang isinya “minta tolong, karena sudah tidak mempunyai uang untuk membeli beras dan minyak goreng”.
Teman yang mengirim pesan singkat itu ternyata tinggal disebuah rumah yang lebih tepat disebut sebuah bilik kamar dengan dapur ala kadarnya. Itulah rumah kontrakan Nia (bukan nama sebenarnya) yang berada di tepi kali Ciliwung, terletak di bantaran sungai, di daerah Jakarta Timur. Alamat dikenali dengan sebutan RT xx/ RW yy Kelurahan xyz, dengan ancar-ancar gedung ini-itu di jalan anu, lantas masuk gang di sebelah toko def, belok kiri di tikungan ke 2, hati-hati jangan sampai kepala terantuk kawat jemuran, pintu rumah nomor 5 dari tikungan ke kanan, dan menghadap ke sungai.
Tempat tinggal Nia benar-benar sebuah “ground zero“. Semua isi rumah terendam air dan menjadi rusak, kecuali beberapa perangkat dapur seperti piring, wajan dan kompor minyak tanah.
Pekerjaan Nia saat itu, di malam hari sebagai pedagang kaki lima di pinggir jalan besar, berjualan minuman dingin dan panas. Pelanggan yang membeli dagangannya berprofesi kelas bawah, yaitu tukang becak, tukang bajaj, tukang ojeg, buruh bangunan dan lainnya. Berangkat kerja jam 8 atau 9 malam, pulang pukul 4 atau 5 dini hari.
Tiba-tiba, ada seorang anak perempuan berlari masuk dan diperkenalkan kepada Ani, ini Eva (bukan nama sebenarnya), anaknya yang masih duduk di kelas 3 SD. Eva adalah anak hasil hubungan asmara Nia dengan seorang salesman mobil. Perkenalan mereka dimulai ketika Nia yang bekerja sebagai pemijat, mendapat pelanggan salesman mobil itu.
Perkenalan ini diteruskan di luar panti pijat, dan Nia sepakat untuk menjadi gundik (wanita peliharaan) dari lelaki tersebut. Hubungan ini membuahkan anak perempuan yang dinamai Eva. Pada awal dan selama beberapa tahun si lelaki membiayai kehidupan mereka. Tidak dijelaskan, sebab-sebab atau alasannya dan akhirnya si lelaki meninggalkan Nia dan Eva, dan menelantarkan isteri dan anaknya.
Ani menceritakan kisah ini di milis alumni, dan komunitas ini bersedia membantu sang anak kemiskinan, dengan alasan yang sangat masuk akal. Hanya membantu Eva, tetapi tidak bersedia membantu biaya kehidupan Nia. Dari koneksi komunitas ini, akhirnya Eva diterima di sebuah panti asuhan di kawasan Jakarta Timur. Biaya hidup di panti asuhan, pindah sekolah, uang sekolah dan lain-lain. semua ditanggung bersama dari donasi, sumbangan teman-teman yang merasa kasihan. Pada awalnya banyak penyumbang, dan dengan berjalannya waktu, jumlah penyumbang berkurang secara pelan-pelan tapi pasti.
Lulusan perguruan tinggi
Nia adalah seorang lulusan fakultas sastra dari sebuah universitas ternama yang meraih gelar sarjana-nya diawal tahun 1980-an, kemudian menyumbangkan darma baktinya untuk para pengungsi Vietnam, sebagai guru bahasa Inggris di pulau Galang.
Ketika semua pengungsi sudah diterima oleh negara barat, Nia kembali ke Jakarta dan menjadi salesgirl di sebuah toserba. Secara kebetulan Nia berkenalan dengan turis yang berbelanja di toserba itu, seorang bule laki-laki asal Australia. Perkenalan ini berlanjut, dan Nia bersedia diajak jalan-jalan mengunjungi beberapa obyek pariwisata, seperti Danau Toba, Gunung Tangkuban Perahu dan tempat-tempat lainnya. Turis laki-laki ini pulang ke negaranya, dan meninggalkan Nia yang sedang hamil.
Mereka berkorespondensi dengan surat, karena saat itu belum ada internet dan email, dan sebagai niat baik bersedia menikahi Nia, bila Nia berhasil mendapatkan visa dari kedutaan Australia di Jakarta. Segala upaya sudah diusahakan namun tidak berhasil mendapatkan visa.
Seorang anak perempuan dilahirkan di Kudus, dan diserahkan kepada orang tuanya, untuk diasuh, dibesarkan, dan dididik. Kakak perempuan yang diasuh oleh neneknya, konon, bisa menjadi mahasiswi di salah satu universitas di Surabaya, dan sekarang sudah berkeluarga.
Sementara itu atas kebaikan teman-teman di Semarang, Nia mendapat pekerjaan sebagai guru bahasa Inggris di salah satu SMP di kota itu. Karena satu sebab, terjadi cekcok dengan orang tua murid, akhirnya kepala sekolah memecatnya dari profesinya sebagai guru.
Selama Nia berdagang sebagai Pedagang Kaki Lima di malam hari, pernah terkena tangkap oleh polisi pamong praja. Ditangkap dan tidak dilepas bila tidak ada yang menjamin. Dagangan dirampas, meja dijungkir balikkan, dan Nia ditahan dipenjara sosial.
Sekarang Nia bekerja lagi sebagai pemijat di sebuah panti pijat. Penghasilannya membaik dan bisa kost di alamat yang lebih gampang dicari pintunya.
Bea siswa dari komunitas
Penggalangan dana untuk Eva tidak begitu berhasil, barangkali karena tidak pernah dipromosikan besar-besaran dan hanya dikelola secara ala kadarnya, meskipun setiap jangka waktu tertentu selalu ada pemberitahuan laporan keuangan.
Pernah sewaktu duduk di kelas 1 SMP di sekolah yang sama, masih ada hutang uang sekolah SD untuk beberapa bulan. Untung tidak dipecat dan dikeluarkan. Akhirnya masih banyak teman yang mau menyumbang lebih banyak, sehingga bisa melunasi hutang tersebut, dan membayar uang sekolah selanjutnya.
Panti asuhan ini berada satu komplek dengan sekolah SD dan SMP. Dari rapor sekolah, Eva bukanlah seorang anak yang cerdas, mungkin tingkat IQ-nya sedikit dibawah rata-rata.
Setiap liburan sekolah, Eva dan semua penghuni asrama kembali ke orang tuanya, bila memungkinkan. Kadang kala, ada orang tua temannya yang mau menerima Eva bertandang untuk seminggu di rumah mereka.
Pernah suatu ketika Eva berkeluh kesah kepada Ani, bahwa ia tidak mempunyai mainan, tidak punya apa-apa bila dibandingkan dengan teman-temannya, sehingga dia merasa rendah diri.
Tahun lalu Eva lulus SMP, dan mau meneruskan sekolahnya di SMA jurusan boga (makanan dan mengolah makanan). Biaya masuk cukup tinggi, mesti diangsur pelunasannya. Uang sekolah sekitar 600 ribu Rupiah, ditambah dengan ongkos bis kota Trans Jakarta setiap hari pergi-pulang dari-ke panti asuhan.
Setiap hari, Eva bersama empat teman sepanti asuhan pergi dan pulang bersama ke sekolah yang sama. Bulan ini atau bulan depan akan naik ke kelas dua, dan akan lulus setelah selesai kelas tiga.
Setelah itu, hanya satu pengharapan, yaitu ada juragan / manager/ chef yang mau menerima Eva si anak kemiskinan sebagai pekerja di dapur restoran atau rumah makan miliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar