Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 14 Juli 2014

Perihal Lingkungan dan Budaya Kekinian

“Lingkungan yang bersih dimulai dari hati yang bersih”. Begitulah kecerdasan bahasa yang  lahir dari sebuah ungkapan ketika menyampaikan maksud dan tujuannya. Sebuah pandangan yang luas bisa disampaikan dari sudut yang kecil tanpa kehilangan maknanya. Induktif memang. Kristalisasi bahasa semacam ini akan memakan jabarannya yang panjang dengan berlembar-lembar kertas perhalamannya.
Dibawa kemana pun, ungkapan ini akan tetap bisa dijadikan patokan dalam memandang persoalan. Patokan, garis, pancang, dan lain sebagainya dengan segala sinonim yang berdekatan dengan itu akan tetap mampu mengacu pada wilayah cakupan yang diinginkan. Begitulah kekuatan bahasa dalam mencermati kenyataan untuk menyigi seluk-beluk persoalan  berdasarkan caranya tersendiri dalam usaha penyimpulan.
Simpul, buhul, dan ikatan atau istilah-istilah lainnya adalah kekuatan yang nyata dan  pilin-berpilin membangun keutuhan. Nah. Ketika kebudayaan tersisihkan dari prioritas kepentingan class social maka bahasa pun mulai bergerak meninggalkan keutuhannya bagi manusia yang melahirkan dan menumbuhkannya. Acuan lama tentang ungkapan “yang baik budi dan yang indah bahasa” itu kini jadi terlupakan dan berubah sesuai kepentingan.
Pertumbuan bahasa jadi kian menyimpang dan tak terkemasi and akhirnya terbawa arus perubahan yang teramat besar atas pilihan dan kebijakan. Jika pilihan dan kebijakan yang ada tetap berusaha dan mendasari kata yang dipakai dan digunakan melalui dialektikanya yang jelas dan terang serta mengawalinya dengan tujuan  ‘kebaikan budi’, tentu akan ada titik terang yang mencahayai dan mampu menumbuhkan keindahan.
Kedalaman bahasa semacam itu akan selalu merangkum kedamaian dan kenyamanan hidup manusia atas kebersamaan, kesatuan, berbangsa dan negara.  Meski keorisinilan kata dalam bahasa Indonesia tidak bisa dikatakan mutlak, karena memang telah berasimilisasi dengan pembaurannya, atau apa pun itu istilah lainnya yang jelas telah terlebih dahulu bermula tapi pertemuan berbagai kutub bangsa melalui bahasa dari belahan dunia yang berbeda asal itu prosesnya tentu tidak cuma sekedar keinginan sepihak, pasti ada imbal-baliknya: apakah itu dari luar atau dari dalam tubuh negeri sendiri.
Proses menjadi inilah yang sering terlupakan. Kajian para ahli bahasa serta arahan dari lembaga pendidikan pun jarang mengacu ke wilayah ini. Padahal di sinilah posisi kebudayaan berderap dan mempertahankan akar kehidupan manusia yang memilikinya. Pertarungan pandangan dan sikap telah terlebih dahulu menyaringnya. Sudah pasti, apa pun keputusannya akan tetap berdasarkan kepentingan bersama yang nyata atas hidup, manusia dan lingkungan yang akan  menerimanya.
Kalaulah para ahli bahasa dan institusinya masih lalai dalam mengambil keputusan yang tepat untuk beberapa hal penting mengenai kenyataan bahasa yang telah porak poranda  dan  mencecerkan kebudayaan dengan segala sebab-musababnya, tentu tidak akan bisa ditemukan lagi jalan keluar tentang nilai dan makna kebangsaan yang sesungguhnya. Begitu pula halnya dengan karya yang muncul ke permukaan yang tidak lagi mampu menghadirkan nilai dan  keistimewaannya maka negeri ini akan tetap terpuruk.
Bahasa yang buruk akan menjadikan kehidupan lingkungan yang buruk bagi kondisi sosial budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Pertentangan dan perkubuan pasti tercipta dari kebobrokan yang diderita bahasa. Kejujuran dan kebohongan akan selalu bersilang sengketa. Perseteruan akan selalu mengabadikan penderitaan dan perpisahan yang tak terduga. Satu-satnya jalan adalah berbuat dan berjuang dalam usaha pelurusan terhadap bahasa.
Kebebasan yang selalu diiklankan dan dapat diakses dari genggaman tentu akan sering  berbuah percekcokan. Teknologi komunikasi betapa pun baiknya akan tetap membangun lingkungan yang buruk bagi penggunanya tanpa memahami bahasa dan kandungannya. Terlebih lagi dengan tidak adanya usaha mendasar manusianya dalam menggenggam katanya serta asal-usul dan hakikat yang sesungguhnya. Jangan terjebak dalam komunikasi yang serba membabi buta karena perbaikan lingkungan akan bisa tercipta bila kesadaran berbahasa tetap terpelihara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar