Hampir tujuh tahun kita merasakan perdamaian Aceh. Daerah berpenduduk 4,8 juta jiwa ini terus berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan pembangunan. Ekonomi, sosial; hukum, budaya; pendidikan dan yang terpenting agama, tak luput dari perhatian pemerintah daerah. Selain penduduk muslim sebagai mayoritas, terdapat beberapa agama/ kaum minoritas lain seperti Budha, katolik, protestan dan Hindu.
Seiring dengan perjalanannya, Aceh sebagai serambi mekkah dan mengedepankan hukum syariat islam ini mulai berkembang terutama dalam menyikapi perbedaan/ toleransi beragama. Hal ini ditandai dengan mulai digelarnya perayaan-perayaan imlek seperti atraksi Barongsai di Vihara Maitri jalan Pocut Baren, kawasan Peunayong, Banda Aceh 2013 lalu, bahkan prosesi jalan salib yang dilakukan umat Kristiani dalam memperingati hari Paskah 17 April 2014 lalu. Bagi saya, perkembangan toleransi ini patut diapresiasi. Momentum ini merupakan perkembangan yang menandakan keterbukaan masyarakat Aceh, mengingat tanah rencong ini pernah dihantui kekhawatiran beberapa bantuan pasca musibah Tsunami dibalut dengan misionaris hingga maraknya aliran sesat yang berkembang.
Salah satu aturan yang harus dijalankan pada bulan ramadhan adalah melarang warung makan/ restaurant beroperasi di siang hari, termasuk tempat-tempat tempat hiburan, yang harus tutup dari pukul 5.00-16.00 WIB dan begitu pula tutup kembali ketika Isya hingga usai shalat Tarawih. Aturan ini sesuai dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Hal ini dilakukan agar tidak terganggunya ibadah masyarakat Aceh dalam menjalankan ibadah puasa. Bagi yang melanggar, maka tidak segan-segan usahanya ditutup dan disegel.
Ibarat kata orang bijak, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menerima perbedaan. Untuk menjadi bangsa yang besar maka dibutuhkan keterbukaan dan menyesuaikan diri dengan keragaman, tentunya dengan tidak mengubah nilai-nilai identitas asli. Saya pikir, sudah saatnya masyarakat Aceh melakukan perubahan. Tentunya mengenai kebijakan daerah, mengingat Aceh tidak hanya dihuni oleh muslim saja, akan tetapi multi kultur dan juga multi religi. Oleh karenanya, sebagai makhluk social, sudah selayaknya kita memikirkan bukan hanya kepentingan mayoritas, akan tetapi juga kepentingan minoritas, toh kita hidup dalam keberagaman.
Masih segar di ingatan saya mengenai kasus yang terjadi pada ramadhan 2 tahun yang lalu, Satpol PP menggerebek sebuah warung makan dan mengangkut alat-alat yang digunakan untuk berdagang, hanya karena warung tersebut (secara sembunyi dengan menutup pintu toko) beroperasi di siang hari meski si penjual adalah wanita Tionghoa dan konsumennya nonmuslim. Memang tidak bisa disalahkan, karena hal ini sudah diatur dalam kebijakan perda dan tentunya si pemilik toko juga sudah diperingatkan untuk tidak membuka warung di siang hari selama bulan ramadhan. Akan tetapi, bukankah Islam sendiri menghargai perbedaan, bukankah islam sendiri menghargai dan mengatur dalam hidup rukun beragama. Jika dilihat mayoritas etnis Tionghoa adalah pedagang, mereka juga manusia yang mencari rezeki dengan cara halal sama seperti kita. Pernahkah terpikir oleh kita, bagaimana jika mereka tidak sempat menyiapkan makanan untuk keluarganya, tentunya akan mencari alternative dengan membeli makanan dari luar. Saya rasa, sah-sah aja mereka dan sesamanya untuk tidak ikut menahan lapar seperti kita, toh mereka tidak mengganggu kita dalam beribadah. Dalam Surah Alkafiruun :6, Alquran juga mengatur tentang kebebasan beragama, “Lakum Dinukum waliyadin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
Perubahan positif mulai dirasakan sekarang, kaum minoritas sudah boleh bersenang hati, pasalnya, pemerintah aceh telah mengizinkan warung makan beroperasi dengan catatan hanya melayani nonmuslim, tentu saja dengan pantauan dan penjagaan dari polisi syariat (Wilhayatul HIsbah). Sekali lagi in mulai menandakan masyarakat aceh mulai berempati dan terbuka serta menjaga nilai toleransi antar umat beragama, tentunya hal ini perlu dipertahankan dan perlu ditingkatkan. Dengan sedikit berempati, mungkin kita mampu merasakan dan meningkatkan rasa toleransi yang tinggi. Maka dari itu, sudah selayaknya kita , masyarakat Aceh dan juga pemerintah daerah memikirkan nasib minoritas dengan mengubah atau mengecualikan kebijakan menutup warung makan bagi mereka yang nonmuslim, tentunya tetap menghormati bulan Ramadhan dengan beroperasi semi tertutup. Saya yakin, masyarakat Aceh adalah masyarakat yang berilmu, yang berpikir maju, dan memiliki keterbukaan dan menerima perbedaan. Dan hal demikian tidak mengurangi kekhusyu’an dan meresahkan masyarakat Aceh dalam menjalankan ibadah puasa. Bukankah hidup rukun dengan menghargai perbedaan dan toleransi antar umat beragama merupakan cerminan masyarakat yang madani sesungguhnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar