Istilah kemiskinan tentu sudah tidak asing
lagi, tetapi jawaban atas pertanyaan apa itu kemiskinan masih
multi-interpretable. Secara sangat sederhana, Levitan mendefinisikan kemiskinan
sebagai suatu kondisi kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sementara itu, Bappenas
merumuskan kemiskinan ini sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan
karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari oleh
si miskin, serta tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Hal
ini tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya
manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya pendapatan dan
terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya dan terbatasnya kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan.
Uraian tersebut secara simpikatif
memperlihatkan dua cara pandang dalam menyoroti fenomena kemiskinan. Pandangan
pertama melihat kemiskinan sebagai suatu proses, sedangkan pandangan kedua
melihat kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat.
Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat
dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil. Pandangan ini melahirkan
konsep tentang kemiskinan relatif yang sering dikenal dengan sebutan kemiskinan
struktural. Sebaliknya, pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena
atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolut.
Walaupun secara sepintas ada perbedaan
pandangan tentang definisi kemiskinan, tetapi jika dikaji hubungan sebab akibat
dari kemiskinan itu, maka dapat disimpulkan bahwa kedua konsep tersebut tidak
dapat dipisahkan. Jika di dalam suatu masyarakat terjadi ketidakadilan dalam
pembagian kekayaan, maka sebagian anggota masyarakat yang posisinya lemah akan
menerima bagian kekayaan terkecil. Kerena itu golongan yang lemah ini akan
menjadi miskin. Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka
golongan ini akan mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan pembagian
kekayaan di dalam masyarakat tersebut.
Karena itu, saat ini konsep kemiskinan yang
digunakan tidak hanya menghitung kemiskinan absolut saja, melainkan juga
memperhitungkan kemiskinan relatif. Fokus kemiskinan relatif lebih menyoroti
pada proses pemiskinan dan sebab-sebab kemiskinan. Dari perspektif ini
kemiskinan dipahami sebagai perampasan kapabilitas dan akses. Posisi yang
diambil dengan sudut pandang kemiskinan struktural mencakup lima dimensi pokok,
yaitu: pola hubungan kekuasaan, dimensi kelembagaan, dimensi kebijakan, dimensi
budaya, dan dimensi lingkungan fisik.
Dalam hubungan itu, temuan lapangan yang
dilaporkan Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menunjukkan bahwa
justru fakta akan proses pemiskinan dan kemiskinan struktural adalah hal yang
paling mendominasi realitas persoalan yang sebenarnya. Sayangnya, menurut HS.
Dillon, orientasi pembangunan di Indonesia masih terlalu “economic minded”
sehingga penanganan terhadap kemiskinan (poverty alleviation strategy) bersifat
parsial. Kesemuanya adalah konsekuensi dari pilihan orientasi pembangunan yang
menitikberatkan pertumbuhan ekonomi sehingga pembangunan hanya digerakkan oleh
dan bagi para pemilik modal bercorak kapitalistik, sementara peran rakyat
sekadar menjadi penyokong pembangunan semata. Bahkan, dalam pandangan agrarian
populist, seperti pernah diungkapkan sosiolog Loekman Soetrisno, justru
negara-lah penyebab utama kemiskinan.
Harus disadari bahwa kemiskinan adalah
masalah yang kronis dan kompleks. Karena itu, dalam menanggulangi kemiskinan,
permasalahan yang dihadapi bukan hanya terbatas hal-hal yang menyangkut
pemahaman hubungan sebab akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga melibatkan
preferensi, nilai, dan politik. Hadiwigeno dan Pakpahan mengingatkan bahwa
kemiskinan selalu berada dalam konteks sosial, maka interdepensi antarindividu
atau antargolongan masyarakat merupakan karakteristik intern. Karena itu pula
untuk menanggulangi kemiskinan, tidak terbatas pada masalah peningkatan
produktivitas, tetapi lebih penting lagi menyangkut permasalahan perubahan
dalam entitlement. Baik terhadap sumber daya dalam arti fisik maupun dalam arti
kesempatan untuk memperoleh share dari aliran manfaat. Kemiskinan juga
merupakan akibat dari proses eksklusi dan peminggiran yang menyebabkan
hilangnya partisipasi, keterpurukan, dan pada akhirnya menghilangkan akuntabilitas.
Karena itu, kemiskinan tidak hanya merupakan akibat deprivasi kapabilitas, tapi
juga karena masalah hubungan kekuasaan (power relationship) diantara masyarakat
dan negara maupun antara masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.
Namun demikian, kekonyolan yang sering kita
lakukan adalah bersikap terlalu optimis terhadap trend pertumbuhan ekonomi
sebagai satu-satunya parameter yang absah untuk mengukur keberhasilan
pengentasan kemiskinan. Benarlah dugaan Amartya Sen bahwa penyebab kegagalan
kita dalam menangani kemiskinan selama ini seringkali disebabkan antara lain
karena kegagalan kita dalam memahami kemiskinan itu sendiri. Kekeliruan dalam
memahami masalah kemiskinan, bahkan, tidak saja akan mengakibatkan program
penanggulangan kemiskinan kurang mendasar, tapi juga menjadi tidak tepat
sasaran.
Dalam perspektif yang lebih makro, pemiskinan
juga dapat dilihat sebagai grand design kaum kapitalis dan “mafia” neoliberal
dimana negara-negara miskin menjadi objek utamanya. Aktivis debtWach, Arimbi
Heroepoetri menduga bahwa proses pemiskinan global ini terjadi karena lemahnya
regulasi yang dimiliki negara-negara miskin. Dengan begitu, mesin uang
globalisasi yang terdiri dari kelompok Bank Dunia (IBRD, IFC, GIGA, ICSID),
Kelompok TNCs/MNCs, dan lembaga multilateral lainnya dengan mudahnya menjebak
negara-negara miskin melalui resep neoliberalisme yang manjur: deregulasi,
privatisasi, dan liberalisasi. Dengan resep ini maka terjadilah monopoli di
berbagai sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Keuntungannya tentu saja
hanya dinikmati para kapitalis, sementara rakyat miskin di berbagai belahan
dunia terus-menerus menjadi sapi perahan.
Sidang Umum PBB direncanakan akan secara
khusus membicarakan persoalan kemiskinan di penghujung September 2005. Agenda
sidang ini juga akan mengevaluasi program Millenium Development Goals (MDGs)
yang sudah dicanangkan sejak tahun 2000. Inti dari MDGs adalah komitmen
masyarakat dunia untuk melakukan upaya pengentasan kemiskinan secara bersama-sama.
Target utama program ini adalah bahwa pada tahun 2015 dunia harus terbebas dari
kemiskinan. Akankah misi ini tercapai di tengah iklim global yang kian
carut-marut ini ?.
Kini dunia ibarat sebuah kampung! Masihkah
negara berperan mengayomi rakyatnya ketika dominasi modal-global berhasil
menancapkan kuku-kukunya ? Bersamaan dengan krisis keuangan di negara-negara
“Dunia Ketiga”, paham neoliberalisme dengan sadar didesakkan menjadi kebijakan
badan-badan multilateral dunia seperti IMF, Word Bank, dan WTO. Pasar bebas
kemudian diciptakan menjadi perangkap untuk menerkam negara-negara miskin
dengan lilitan dan jebakan utang yang secara sengaja diciptakannya. Pasar bebas
memang bukan sebuah konsep netral, tapi lebih merupakan wajah lain dari
kapitalisme dimana globalisasi diideologisasi menjadi kredonya.
Elizabeth Martinez dan Arnold Garcia mencatat
beberapa poin penting yang menjadi karakter utama neoliberalisme. Pertama,
mekanisme pasar bebas dimana perusahaan-perusahaan swasta dibebaskan dari
segenap keterikatan dan intervensi pemerintah. Mekanisme ini pada akhirnya akan
menghilangkan kontrol negara terhadap mekanisme pasar sehingga harga sepenuhnya
didasarkan atas kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa. Kedua,
mereduksi pengeluaran negara, terutama anggaran publik dalam hal pelayanan
sosial, seperti subsidi pendidikan, kesehatan, jaringan pengaman sosial,
subsidi BBM, dan lain-lain. Ketiga, melakukan deregulasi dengan menekan
peraturan-peraturan pemerintah agar menguntungkan kalangan pengusaha. Keempat,
privatisasi dalam bentuk penjualan aset-aset publik seperti BUMN kepada
investor swasta. Termasuk aset-aset strategis seperti bank, listrik, jalan tol,
rumah sakit, dan bahkan barang yang menjadi public goods seperti air minum.
Kelima, sebagai konsekuensinya, rakyat kehilangan akses terhadap barang publik
yang sesungguhnya merupakan hak-milik komunitas.
Dengan skema kebijakan seperti itu, aktivis
ICRP Trisno S. Sutanto menilai arus globalisasi neo-liberal merupakan perluasan
kekuasaan segelintir pemodal yang mau mencaplok seluruh pelosok dunia di bawah
kendali mereka. “Fenomena globalisasi yang sangat kompleks itu merupakan
penciptaan kampung global tetapi sekaligus juga penjarahan secara global,”
ungkapnya. Menurut aktivis HAM Asmara Nababan, pengabdian negara pada
kepentingan modal-global bahkan akan memicu kekerasan modal (capital violence)
yang menindas rakyat dengan menjadikan ‘pembangunan’ sebagai kedoknya. Padahal,
konsep pembangunan yang hanya bertopang pada pertumbuhan ekonomi harus segera
direvisi. Pembangunan harus diorientasikan pada pemajuan manusia yang dilakukan
untuk memastikan bahwa ia dapat hidup dalam standar minimum yang ditetapkan.
Sejalan dengan ini, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia harus
ditempatkan sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan. Dengan
demikian, negara dapat memastikan bahwa setiap warganya dapat menikmati
pemenuhan hak-hak asasinya –baik hak-hak sipil-politik maupun hak-hak
ekonomi-sosial-budaya— demi peningkatan kualitas hidupnya.
Namun, ironisnya, pemerintah Indonesia yang
‘mengaku-aku’ sebagai pengikut paham welfare state justru terjerembab ke dalam
lumpur ekonomi neoliberalisme yang amat dalam. Kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), misalnya, merupakan contoh vulgar dimana skandal keuangan
yang disarankan IMF itu telah merampas sejumput harapan dan mengusik rasa
keadilan masyarakat serta mengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya lebih
layak diterima masyarakat kecil. Aktivis KIKIS, Andik Hardiyanto, menilai bahwa
lemahnya posisi Indonesia terhadap IMF telah mendorong pemerintah untuk
mempercepat proses liberalisasi perdagangan di sektor pertanian. Kebijakan
liberalisasi sektor pertanian tampak antara lain pada pencabutan berbagai
subsidi untuk petani yang berakibat pada lemahnya kinerja petani yang pada
gilirannya juga mengakibatkan peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap
pangan impor.
Senada dengan itu, aktivis BINA DESA, Syaiful
Bahari, menilai fenomena tersebut sebagai bentuk kekonyolan pemerintah. Memang
yang diharapkan kapitalisme global adalah berkurangnya peran negara, melemahkan
peran negara agar mereka bisa menguasai perekonomian. Sementara negara hanya
diperlukan keberadaannya sebatas menjadi backing pengusaha semata. Menurutnya,
pemerintah tidak punya keberanian untuk memberikan proteksi terhadap
kepentingan masyarakat. Padahal, salah satu tugas negara adalah melindungi
rakyatnya dari intervensi asing. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya,
semua diprivatisasi, semua diliberalisasi. “Kalau semua diprivatisasi, kalau
semua diliberalisasi, buat apa ada negara ? buat apa ada pemerintah ? Kita
bubarin saja negara!,” tukasnya.
Kerisauan Syaiful Bahari patut dimengerti
karena terbukti banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa pemerintah lebih
peduli pada kepentingan pemodal dari pada kepentingan rakyat. Kasus Buyat,
misalnya, merupakan contoh nyata dimana kepentingan rakyat dikorbankan atas
nama investasi dan kalkulasi ekonomi. Direktur SERAT Manado, Reiner Ointoe
menilai bahwa PT Newmont Minahasa telah melakukan kontrak karya yang sama
sekali tidak memihak rakyat. Kontraknya dibuat dengan Pemerintah Pusat dengan
landasan UU Pertambangan yang sangat sentralistik. Masyarakat lokal tidak ikut
dilibatkan dalam kontrak karya itu. Rakyat hanya ditipu dan menjadi korban
penambangan yang mencemarkan lingkungan hidup itu.
Menurutnya, memang ada semacam corporate
social responsibility yang dilakukan PT Newmont, seperti pembangunan puskesmas,
tapi itu kecil sekali dan tidak sebanding dengan sejumlah kerugian yang diderita
rakyat atas rusaknya lingkungan akibat ‘penambangan berkelanjutan’ itu. Bahkan,
selain kerugian lingkungan, PT Newmont juga telah memancing terjadinya konflik
horisontal diantara masyarakat. Kerugian sosial-kultural ini muncul karena PT
Newmont telah menciptakan “kelas masyarakat” dengan memanjakan sebagian kecil
masyarakat untuk ‘diadu-domba’ dengan sebagian masyarakat lainnya yang
menentang kehadiran PT Newmont.
Sayangnya, kalangan LSM cuma mengadvokasi
persoalan di ujungnya saja. Mereka cenderung hanya mengadvokasi persoalan
kesehatan dengan munculnya penyakit Minamata, padahal persoalannya jauh lebih
besar dari itu. Persoalan yang lebih mendasar adalah perlu adanya gugatan soal
kontrak karya dan gugatan atas kerugian lain yang diderita masyarakat akibat
beroperasinya PT Newmont. Namun yang terjadi justru makin pelik karena sebagian
masyarakat, LSM, wartawan, dan kalangan kampus pun sudah banyak yang bisa
“dibeli” untuk mendukung PT Newmont. “Ujung-ujungnya, masyarakat kecil juga
yang dirugikan karena mereka menjadi korban dari segala pertikaian yang
terjadi,” ujar Reiner menambahkan.
Hal serupa terjadi dalam kasus privatisasi
air. Dalam laporannya mengenai Kerangka Kebijakan Sektor Air Perkotaan (Urban
Water Supply Sector Policy Framework) Word Bank telah merekomendasikan agar
Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) diswastanisasi. Ide awalnya memang
untuk efisiensi, tapi kenyataannya justru air semakin mahal dan akses
masyarakat terhadap air juga makin sulit. Padahal, hak terhadap air yang setara
merupakan bagian dari hak asasi setiap manusia. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 secara
tegas telah menjamin hak dasar tersebut.
Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Ini mengandung makna tanggung jawab
negara untuk menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau
seluruh lapisan masyarakat.
Aktivis WALHI, Edang Ridha Saleh menilai
bahwa hingga kini, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya
agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia. Agenda privatisasi ini didorong oleh lembaga
keuangan dunia (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai
persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalis global
sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih
(PDAM) milik pemerintah. Undang-undang Sumberdaya Air yang baru ini merupakan
bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program Water Restructuring
Adjustment Loan (WATSAL) dari World Bank. “Ini sebenarnya merupakan model
kolonialisme baru yang perlu kita lawan,” ujarnya.
Senada dengan itu, aktivis Masyarakat Bantuan
Hukum (MBH) Surabaya, Herlambang Perdana, menilai persoalan privatisasi air sarat
dengan kepentingan para kapitalis global. Menurutnya, bisnis air yang sering
disebut sebagai blue gold itu telah menjadi incaran perusahaan multinasional
(multinational corporate). Karena itu ia heran, kenapa para wakil rakyat di DPR
pada tanggal 19 Februari 2004 yang lalu begitu mudahnya mengesahkan UU
Sumberdaya Air yang jelas-jelas merugikan rakyat. “Padahal, dalam proses
pembuatan perundangan, DPR harus lebih utama mengakomodasi harapan publik. Tapi
yang terjadi justru malah sebaliknya. DPR malah main-mata sama pemilik modal
untuk menggolkan peraturan perundangan,” ujarnya. Lebih tragis lagi, di tengah
berbagai keprihatinan yang melanda bangsa ini, para wakil rakyat malah
“asyik-masyuk” dengan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Mereka tidak malu-malu
meminta kenaikan gaji, sementara rakyat didera busung lapar dan kerawanan
pangan.
Dari tujuh aspek keterwakilan yang menjadi
parameter kualitas H/I demokrasi itu, hanya pada aspek kedua saja yang
kualitasnya baik. Sementara keenam aspek keterwakilan lainnya menunjukkan
kualitas yang amat buruk. Demikian pula perkembangannya setelah tahun 1999
secara umum menunjukkan bahwa kualitas keterwakilan cenderung memburuk atau
sama saja dari perkembangan sebelumnya. Karena itu, masalah keterwakilan bukan
hanya tidak memadai tetapi juga benar-benar terterlantarkan.
Persoalan keterwakilan tidak saja menjadi
masalah pada level legislatif, namun juga pada ranah eksekutif. Direktur Walhi,
Longgena Ginting menilai bahwa sistem politik nasional di Indonesia sudah
terlanjur mengarah ke pseudo representatifness atau keterwakilan semu. Ini
merupakan model keterwakilan yang seringkali disalahgunakan secara salah-kaprah
oleh pemerintah. Contohnya, jika suatu proyek sudah mendapat restu atau izin
dari Bupati, Gubernur, atau Presiden, misalnya, maka otomatis itu sudah
dianggap disetujui rakyat. Padahal, jangankan Gubernur atau Bupati, Camat atau
Kepala Desa sekalipun belum tentu mewakili rakyat. Praktek representatifness
yang salah-kaprah ini banyak terjadi sekarang, terutama di daerah-daerah dimana
pemberian izin pengelolaan sumberdaya alam, seperti konsesi pertambangan dan
Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diobral Pemda untuk dan atas nama kepentingan
rakyat. Model representasi yang dikembangkan pemerintah seperti ini jelas-jelas
memperalat sekaligus memelaratkan rakyat.
Seperti halnya Parpol dan lembaga legislatif,
lembaga eksekutif juga memiliki kualitas yang buruk dalam hal keterwakilan.
Demikian pula dalam hal good corporate governance dan business regulation in
public kita memperlihatkan angka yang amat buruk. Selain itu, kebebasan
pemerintah dari campur tangan pihak asing pun kondisinya setali tiga uang.
Kinerja pemerintah, bahkan diperparah lagi dengan ketidakberdayaannya melawan
praktek-praktek korupsi, mafia, dan bentuk-bentuk premanisme yang secara inhern
menjelma dalam koalisi abadi pengusaha-penguasa untuk menyingkirkan rakyat
sebagai kaum pinggiran.
Daftar keprihatinan rakyat itu tentu dapat
diperpanjang lagi dengan sejumlah kasus yang tak kalah getir dan menyedihkan.
Evaluasi kinerja pembangunan yang dilakukan JARI Indonesia, misalnya,
menunjukkan dengan jelas betapa negara telah gagal dalam memenuhi hak-hak dasar
rakyat. Bahwa dominasi modal dengan ideologi pasar bebas dan ditopang
‘jampi-jampi’ globalisasi telah dengan sempurna merenggut kedaulatan rakyat.
Sementara negara sebagai lembaga yang semestinya mengayomi dan melindungi
segenap kepentingan warganya malah tak segan-segan menjadi mucikari yang
menjajakan anaknya sendiri.
Harian Kompas dalam rubrik Fokus membuat
deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di
negeri ini. Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah
semestinya merasa malu!. Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang
sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang
subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai
negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung
lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia
seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka
kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan,
tingkat pengangguran, tingkat pendapatan, dan berbagai indikator kesejahteraan
lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah.
Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah
penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan
pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling
dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat
faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau
delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan
rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya
tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan
kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang
telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang
tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya,
implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana
pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan
pemerataan dan keadilan.
Strategi pembangunan yang ‘konservatif’
tersebut juga berimplikasi pada pilihan strategi penanganan kemiskinan yang
konservatif pula. Meskipun Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) telah
‘berhasil’ merumuskan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPKN), namun
dalam tataran implementasinya tidak cukup signifikan menangani persoalan. Ini
antara lain karena tidak sinkronya titik pandang dan dasar pijak yang dipakai.
Pendekatan pertumbuhan dalam pengurangan kemiskinan, misalnya, masih begitu
diandalkan pemerintah. Padahal, penyebab utama kemiskinan bukan karena
kurangnya pendapatan, tetapi yang terutama karena pelanggaran-pelanggaran hak
asasi manusia serta ketidak-mampuan negara untuk memenuhi, menghormati, dan
melindungi hak-hak demokratis warganya.
Adalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi
(1998) ini secara progresif mencoba mengangkat isu demokrasi sebagai konsep
yang solutif dalam memahami masalah kemiskinan. Ekonom asal India ini
berpendapat bahwa kekurangan secara ekonomis bukanlah satu-satunya jenis
kemiskinan yang merapuhkan kehidupan manusia, karena kehidupan manusia
dimiskinkan dalam berbagai cara yang berbeda. Menurut Sen, ukuran kemiskinan
senantiasa jauh melewati batas-batas dimensi ekonomi, karena dalam kemiskinan
ekonomi selalu melekat secara inheren kemiskinan secara total; miskin
pendidikan, kesehatan, bahkan miskin secara politik. Sen mengkritik para ekonom
yang melihat gelombang krisis yang menghantam negara-negara Asia belakangan ini
dilihat semata karena sebuah kegagalan dalam mengantisipasi karakter arus
modal, yang ternyata terkait dengan sistem ekonomi dan politik. Menurutnya,
krisis ekonomi di Asia, termasuk di Indonesia, muncul dan berkembang karena
negara-negara tersebut telah mengabaikan demokrasi. Sen, bahkan, sampai pada
suatu kesimpulan bahwa ketiadaan demokrasi yang sering melahirkan ketidakadilan
adalah akar dari semua bentuk kemiskinan.
Dalam konteks Indonesia, Sen memberikan
analisisnya bahwa krisis yang terjadi sangat terkait dengan terabaikannya
keterbukaan dan demokrasi. Selama ini, Indonesia dianggap telah gagal membangun
“keamanan perlindungan demokrasi” maupun “jaminan keterbukaan” yang merupakan
dua bentuk kebebasan sebagai sarana utama pembangunan. Ketiadaan keamanan
perlindungan demokrasi telah membuat rakyat sebagai korban krisis ekonomi tidak
memiliki sarana untuk menyalurkan suara dalam proses pengambilan keputusan
(voiceless). Padahal, partisipasi publik merupakan salah satu pilar penting
yang dapat mendorong terciptanya good governance. Sherry Arnstein menyebutkan
bahwa kontrol warga (citizen control) merupakan tingkat tertinggi partisipasi
publik dimana rakyat memiliki kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan, dan
mengawasi pengelolaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Karena itu, proses demokratisasi merupakan
agenda strategis yang harus diperjuangkan dalam upaya penanggulangan
kemiskinan. Dalam hubungan ini, Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia
(GAPRI) menawarkan empat pilar demokratisasi untuk melawan kemiskinan dan
pemiskinan. Disadari bahwa strategi penanggulangan kemiskinan saat ini
membutuhkan perubahan sistem dan struktur secara mendasar dan secara jangka
panjang mampu membebaskan si miskin dari jebakan proses pemiskinan. Karena itu,
empat pilar demokratisasi yang ditawarkan GAPRI didasarkan pada penegasan
pendekatan berbasis hak-hak (rights base approach) si miskin dan sekaligus
penegasan kewajiban negara (state obligation) serta donor untuk menjamin dan
melindungi hak-hak si miskin. Keempat pilar demokratisasi untuk melawan
kemiskinan dan pemiskinan itu adalah:
1. Restrukturisasi Relasi Politik
Harus disadari bahwa relasi-kuasa dalam
sistem politik kita berjalan secara timpang. Agar demokrasi berjalan secara
substantif maka menjadi penting untuk dilakukan penataan ulang relasi politik
sehingga sistem dan kelembagaan politik yang ada benar-benar dirancang dan
disediakan secara bertanggung jawab untuk memecahkan persoalan yang menjadi
kebutuhan publik. Dengan begitu, maka pendekatan penanggulangan kemiskinan
haruslah menjadi kewajiban hukum (legal obligation) dari negara.
2. Redistribusi Kekayaan
Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya
redistribusi kekayaan, namun yang paling utama menyangkut tiga hal, yaitu:
pembaruan agraria, pajak dan pembuatan anggaran yang pro-rakyat, serta
pendidikan dan kesehatan yang memadai. Ketiga hal utama ini merupakan wilayah
penting bagi redistribusi kekayaan secara lebih berkeadilan.
3. Reorientasi Pengelolaan Ekonomi: Menuju
Ekonomi Kerakyatan
Tujuan ekonomi kerakyatan adalah memandirikan
ekonomi nasional, membuka kesempatan ekonomi bagi semua rakyat secara terbuka
dan adil, perimbangan pengelolaan keuangan negara, baik dalam konteks antara
usaha kecil, menengah dan besar, maupun antara pusat dan daerah, menghapuskan
ketimpangan pemilikan aset negara, termasuk kredit perbankan, memperkuat
peranan negara dalam mengendalikan atau mengatur pasar (governing the market).
Upaya ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan seluas-luasnya kepada
rakyat agar memiliki akses sebesar-besarnya sehingga memungkinkan mereka dapat
berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.
4. Reformasi Fundamental Peran Donor dan
Perusahaan TNCs/MNCs
Reformasi fundamental atas peran TNCs/MNCs
perlu dilakukan dengan menekankan hubungan yang setara, menekankan pembangunan
dan yang berorientasi pada penghormatan hak asasi manusia. Selain itu, operasi
TNCs dan MNCs yang seringkali memanfaatkan posisi negara-negara dan badan donor
juga harus didesak untuk melakukan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan
hak-hak dasar orang miskin sebagai suatu kewajiban hukum (legal obligation)
dari pihak swasta/modal.
Jurus yang dikemukakan GAPRI tersebut memang
cukup kontekstual dan strategis. Namun demikian, pendekatan yang teramat
politis itu tampaknya tidak cukup ‘populis’ dan bahkan sering disangsikan
keandalannya dalam mengentaskan kemiskinan. Benarkah pemenuhan hak-hak
sipil-politik –selain juga hak-hak ekonomi-sosial-budaya— seperti itu memiliki
korelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat ? Rakyat sepertinya
banyak yang apatis untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Namun agaknya, kita
perlu belajar dari pengalaman Porto Alegre yang telah menunjukkan bahwa
pelibatan masyarakat secara proaktif dan partisipatif dalam pengambilan
kebijakan publik terbukti mampu menekan kemiskinan secara signifikan.
Kemenangan Partai Buruh (Partido dos
Trabalhadores) di Porto Alegre sangat mengejetkan. Kekagetan ini bukan saja
dikarenakan pemimpin Partai Buruh itu berasal dari kalangan rakyat miskin, tapi
juga karena lawan politiknya saat itu sebetulnya masih sangat powerfull. Lalu
apa resepnya ? Partai Buruh saat itu mengusung metode penentuan anggaran publik
secara partisipatif. Dengan konsep ini, warga benar-benar dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan, terutama mengenai pengelolaan anggaran publik.
Ini merupakan koreksi serius atas pendekatan sebelumnya yang memutuskan sesuatu
tanpa pelibatan publik secara luas.
Lalu bagaimana hasilnya ? Laporan Majalah
TEMPO menuturkan hasil penelitian PMPA-GAPLAN yang menunjukkan bahwa sejak
kemenangan Partai Buruh itu terjadi peningkatan jumlah anggran lebih dari 300 persen
untuk sektor perumahan di Porto Alegre. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa
hampir seluruh penduduk memperoleh air bersih, sementara jumlah anak sekolah
yang mampu melanjutkan ke perguruan tinggi berlipat ganda jumlahnya. Kondisi
ini berbanding terbalik dengan fenomena yang terjadi di DKI Jakarta. Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggran (Fitra) menunjukkan bahwa RAPBD DKI 2005
justru mengusulkan anggaran Rp 23,1 miliar untuk penggusuran. Perbedaan yang
mencolok ini memperlihatkan pada kita bahwa demokrasi prosedural yang sejauh
ini diterapkan di Indonesia hanya berhasil menjamin kebebasan sipil, akan
tetapi belum menyentuh hak-hak dasar lain seperti hak atas pendidikan,
kesehatan, tempat tinggal yang layak, maupun pekerjaan.
Pelajaran yang dapat dipetik dari Porto
Alegre adalah bagaimana Partai Buruh sebagai partai yang berkuasa berhasil
menggunakan kekuasaan otoritatif mereka untuk memulai adanya perubahan mendasar
pada karakter kebijakan pemerintahan lokal. Lokus kekuasaan tidak lagi berpusat
pada pemerintah, akan tetapi terbagi pada warga. Hal ini terjadi karena
dinamika kelembagaan dan kapasitas aktor prodemokrasi mampu mengembangkan
gerakan berbasis massa secara nyata serta mampu mengimplementasikan hak-hak dan
institusi demokrasi secara berarti.
Eksperimentasi demokrasi seperti itu bukanlah
sesuatu yang mustahil dilakukan di Indonesia. Persoalannya tentu akan berpulang
pada kesiapan dan kemampuan para aktor prodemokrasi dalam mentransformasikan
hak-hak dan institusi demokrasi secara substantif dan implementatif. Karena
itu, proses demokratisasi secara substansial sudah semestinya terus digulirkan.
Agenda demokratisasi seharusnya menjadi demikian penting bukan saja atas
pertimbangan political entirely, namun seperti diungkapkan Amartya Sen bahwa
ketiadaan demokrasi merupakan akar kemiskinan yang sejati. Karena itu pula
demokratisasi merupakan keniscayaan yang tak bisa ditawar dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Dengan cara inilah kemiskinan di negeri ini dapat
dienyahkan.