Hari Guru yang diperingati setiap tahun pada
tanggal 25 November, tidak cukup sekedar memperingatinya secara seremonial,
tetapi lebih dari itu, harus dijadikan momentum untuk refleksi dan
reintrospeksi atas peran menjadi seorang guru.
Pilihan untuk menjadi guru tentu saja bukan
tanpa alasan. Guru adalah profesi yang telah ada semenjak peradaban manusia itu
ada. Bahkan guru menjadi salah satu penjamin keberlangsungan peradaban. Jika
pilihan untuk menjadi guru itu tetap dijalani hingga kini, tentu saja karena
atas dasar idealisme dan kecintaan.
Meski akhirnya harus diakui, bahwa masih ada
dilemma antara idealisme/kecintaan dengan kesejahteraan, Ironi yang cukup lama
bertahan mengenai sosok kehidupan seorang guru, dimana mereka harus menjalani
hidup pas-pasan dan terkadang harus terseok-seok untuk bisa bertahan hidup,
diri dan keluarganya. Namun, ironi tersebut kini perlahan-lahan mulai pupus
ketika pemerintah memberi perhatian melalui alokasi anggaran negara untuk
sektor pendidikan, sebagai upaya memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total
jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sekarang ini, problematika guru pada tataran
perjuangan meningkatkan kesejahteraan, mulai teratasi. Menjadi guru bukan lagi
pilihan yang dilematis melainkan sebuah pilihan yang prestisius. Antara
idealisme, kecintaan dan kesejahteraan kini bisa berjalan berdampingan. Guru
kini dapat berjalan dengan tubuh tegak dan penuh kebanggaan. Bahkan melalui
program sertifikasi, profesi profesi guru kemudian jadi pilihan dan incaran.
Perguruan tinggi yang menyediakan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP),
kini mulai diserbu ribuan pendaftar. Bahkan sarjana-sarjana dari jalur non
kependidikan , kini mendaftar pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan
Pendidikan Profesi Guru (PPG). Tujuannya utamanya : Menjadi Guru. Apakah karena
pertimbangan idealisme, ataupun semata-mata peningkatan kesejahteraan yang
menjanjikan ? Entahlah.
Semenjak penetapan guru sebagai profesi pada
peringatan Hari Guru Nasional tahun 2004 oleh Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono, pemerintah dan masyarakat memosisikan profesi guru sangat terhormat,
baik secara formal maupun sosial, Penetapan ini diharapkan menjadi tonggak awal
bangkitnya apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru, yang
ditandai dengan dilakukannya reformasi profesi guru, meliputi peningkatan
kualifikasi dan kompetensi, program sertifikasi, pemberian penghargaan,
perbaikan kesejahteraan dan perlindungan hukum.
Adanya peningkatan kesejahteraan bagi guru,
tidak luput memunculkan kekhawatiran bergesernya orientasi ketika memilih
profesi guru. Berlomba-lombanya orang untuk meraih profesi guru, semata-mata
hanya karena janji pemerintah untuk memberikan penghargaan materi yang tinggi,
dikhawatirkan melahirkan tenaga pendidik yang mengajar tanpa filosofi,
idealisme dan kecintaan yang transenden (suci).
Oleh karena itu, merefleksikan 68 Tahun Hari
Guru Indonesia, tidak lagi sekedar berbicara soal kesejahteraan guru, karena
harapan untuk hidup layak dan terhormat, sudah didukung oleh perangkat
kebijakan pemerintah. Pertanyaan yang penting dan mendasar sebagai bahan refleksi
kita adalah “Bagaimana menjadi guru sejati”. Guru yang benar-benar menjadi
’guru’, bukan lagi sekedar digugu dan ditiru (ditaati dan dicontoh), apalagi
bukan sekedar “digugulung di juru” (dikerumuni para siswanya).
Meski masih tetap berhadapan dengan berbagai
kebijakan dan isu politik pendidikan yang masih berorientasi pada kepentingan
kekuasaan. Meski harus berhadapan dengan kenyataan bahwa guru “dipaksa” untuk
menjadi robot kurikulum dan berbagai proyek berbiaya mahal yang mengatasnamakan
gagasan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Meski harus berhadapan dengan
kenyataan bahwa pemerintah masih tetap ingin menyelenggarakan ajang Ujian
Nasional (UN) yang konon dianggap pemerintah sebagai alat mengukur kepintaran
anak didik. Guru harus tetap cerdas untuk menyiasati kebijakan tersebut tanpa
kehilangan identitas dan kesejatiannya.
Guru sejati adalah sumber inspirasi bagi para
anak didiknya. Guru sejati adalah ruang yang memberi keleluasan bagi anak
didiknya untuk berinteraksi dengan kehidupannya. Guru sejati harus selalu
menyediakan waktu untuk bermetamorfosis dari sekadar pengajar menjadi pendidik,
pengukir sejarah, yang mengajarkan hikmah kepada para anak didiknya untuk
menjadi manusia-manusia utuh dan memberikan keteladanan dalam kehidupannya. Guru
sejati senantiasa mengasah diri lahir batin untuk dapat menjadi pribadi yang
mampu mengenali setiap potensi para anak didiknya dan berkemampuan
membangkitkan potensi tersebut. Guru sejati memiliki cara pandang yang luas
buat mengelola dunia anak-anak agar menjadi anak-anak peradaban yang memiliki
akar pada nilai-nilai agama dan budaya yang teguh, sekaligus mampu menjangkau
peradaban global.
Guru sejati harus mampu membimbing anak didik
menemukan konsep dirinya. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang
diri kita (Jalaluddin Rakhmat, 2001 : 99). Konsep diri ini akan sangat
menentukan tentang kepribadian kita sebenarnya. Salah satu faktor yang amat
menentukan konsep diri seseorang adalah lingkungannya. Maka, guru yang baik,
sejatinya mampu menciptakan lingkungan yang baik bagi anak didiknya untuk
tumbuh dan berkembang. Senyuman, pujian, penghargaan dan pelukan pelukan kasih
sayang seorang guru akan menciptakan konsep diri positif pada anak didiknya.
Begitu pula ejekan, cemoohan dan hardikan akan membuat anak didik menilai
dirinya secara negatif. Tulisan ini ingin diakhiri dengan kutipan bait-bait
puisi yang dikarang oleh Dorothy Law Nolte berikut ini :
Anak Belajar dari Kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia
belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia
belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia
belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia
belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia
belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia
belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia
belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya
perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia
belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia
belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan
persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
SELAMAT HARI GURU !!!