Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 14 Oktober 2013

Perlindungan Anak dari Tindak Kekerasan


Perlindungan Anak dari Tindak Kekerasan:
Langkah-Langkah   Implementasi Rekomendasi Komite Anti Penyiksaan PBB

Pendahuluan

Pengakuan   atas eksistensi anak sebagai subyek hak asasi manusia  (HAM) yang sui generis  (rights holders as sui generis) ditandai  manakala Konvensi Hak Anak (KHA) telah diratifikasi oleh 193 negara.   Dengan demikian sebanyak 193 pemerintah telah menerima kewajibannya untuk mengambil semua langkah-langkah legislative, administrative, sosial, dan pendidikan secara layak untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk-bentuk dan manifestasi kekerasan. [1] Kendati  ratifikasi KHA telah menunjukkan universalitas,  namun perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan penyalahgunaan kekuasaan (children’s protection from violence, exploitation, and abuse)  masih sangat lemah. Anak sebagai bagian integral dari komunitas, paling lemah kemampuannya untuk melindungi diri mereka sendiri, malah mereka menjadi obyek segala bentuk dan manifestasi kekerasan. Penghukuman secara fisik dan merendahkan martabat anak masih jamak dan meluas dilakukan dalam komunitas seperti di sekolah, di rumah, dan  masyarakat setempat. 

Berdasarkan kondisi di atas, PBB melakukan studi global kekerasan terhadap anak pada 2003.  Pesan utama dari studi tersebut yang diungkapkan oleh Pelapor Ahli Independen Paulo Sérgio Pinheiro adalah tidak ada satu pun kekerasan terhadap anak dapat dibenarkan dan segala bentuk kekerasan terhadap anak dapat dicegah. (No violence against children is justifiable; all violence against children is preventable). [2] 

Pesan lebih jauh juga  disampaikan oleh Komite Hak Anak (The Committee on the Rights of the Child),  pada  Komentar Umum No. 8  bahwa  hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari  penghukuman fisik (corporal punishment) dan bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak sebagaimana diatur dalam Pasal 19, 28 (2), dan 37, inter alia, menjadi kewajiban setiap Negara. Bahkan dalam Komentar Umum tersebut dinyatakan bahwa Negara harus segara melarang dan menghapus semua bentuk penghukuman fisik dan bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat.[3]
           
Implementasi kewajiban-kewajiban yuridis di atas, dapat dieksaminasi dengan melihat pada rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh komite-komite PBB sesuai dengan mandate yang diberikan oleh instrumen hukum HAM internasional. Komite-komite tersebut memiliki otoritas untuk melihat tingkat kepatuhan Negara dalam mengimplementasikan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam setiap instrumen hukum HAM internasional tersebut. Setiap komite menerbitkan Concluding Observation untuk merespon kinerja suatu Pemerintah yang dilaporkan kepada komite. Dalam konteks Indonesia Concluding Observation komite-komite yang perlu dicermati, khususnya terkait monitoring implementasi kewajiban Negara untuk menghapus penghukuman fisik dan bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak  sebagai berikut:

  1. Committee against Torture
  2. Committee on the Rights of the Child

 Rekomendasi-Rekomendasi Komite-Komite dan Amatan Masyarakat Internasional

Rekomendasi-rekomendasi yang patut   dicermati terkait dengan isu  penghukuman fisik (corporal punishment) dan bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak sebagai berikut:

Komite
Fokus Perhatian
Rekomendasi
Committee on the Rights of the Child

·      Penghukuman fisik masih terjadi secara meluas  pada  keluarga dan sekolah, secara kultural dan hukum juga masih diterima  dan dibenarkan










·      Tingginya tingkat kekerasan terhadap anak di sekolah, termasuk pemerasan dan tawuran pelajar, serta tidak adanya hukum yang mengatur disiplin sekolah serta melindungi anak dari kekerasan dan pelecehan di sekolah. 




·      Tingginya jumlah anak yang menjadi korban kekerasan, pelecehan dan ditelantarkan, termasuk pelecehan seksual, di sekolah, tempat-tempat umum dan di tempat-tempat penahanan serta dalam keluarga.

·         Memastikan amandemen peraturan perundang-undangan yang melarang tindakan penghukuman fisik pada semua lingkungan termasuk pada keluarga, sekolah, dan tempat-tempat layanan anak lainnya 

·         Melakukan kampanye mengenai dampak negatif perlakuan salah terhadap anak dan mempromosikan pendisiplinan nir kekerasan sebagai alternative pengganti penghukuman badan.


·         Memperluas upaya untuk mengatasi masalah perlakuan salah dan penelantaran, termasuk pelakuan salah secara seksual, dan mendorong adanya sistem nasional untuk menerima, memantau, dan menginvestigasi laporan dan menuntut kasus secara hati-hati, dengan memperhatikan sensifitas anak dan privasi anak;


·         Memastikan bahwa korban mempunyai akses ke konseling dan mendapat bantuan pemulihan dan reintegrasi, dan memastikan bahwa panti hanyalah alternative terakhir dalam penyatuan anak korban pemerkosaan;

·         Memastikan pelaku kekerasan dituntut di depan pengadilan;

·         Memperluas upaya yang telah dilakukan saat ini guna mengatasi masalah pelecehan, penelantaran, termasuk pelecehan seksual, dan memastikan bahwa ada suatu system nasional yangmenerima, mengawasi dan menyelidiki laporan tentang anak, dan bilaman perlu membawa kasus ke pengadilan dengan cara yang berpihak pada anak serta menjamin kerahasiaan korban

Committee Against Torture 
·      Ketiadaan  registrasi yang sistematis atas semua tahanan,  termasuk tahanan anak


·      Penggunaan kekerasan yang tidak seimbang dan meluasnya penyiksaan, hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat seseorang    dan penghukuman  oleh anggota militer,  polisi, dan kelompok paramiliter. Tindakan serupa juga terjadi selama operasi mililer khususnya di Papua dan Aceh, dan propinsi lain di mana konflik senjata terjadi    


·      Tahanan Anak belum sepenuhnya terpisah dengan tahanan dewasa
·      Masih banyak anak-anak yang melakukan kejahatan ringan ditahan
·      Penghukuman fisik masih sering terjadi dan dibenarkan secara hukum
·      Perlindungan terhadap anak jalanan dari tindakan kekerasan belum mendapatkan perhatian yang layak







·      Situasi pengungsi   dan  pengungsi dalam negeri sebagai akibat konflik bersenjata yang hidup dalam camp pengungsian sering kali menjadi korban perlakuan salah



·      Ketiadaan data yang terpisah dan komprehensif mengenai  tuntutan,  penyelidikan, penuntutan, dan penghukuman terhadap kasus-kasus  penyiksaan dan perlakuan salah   yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, militer, termasuk pelaku trafiking, penghilangan paksa, pengungsi dalam negeri, kekerasan terhadp anak, perlakuan salah terhdap pekerja migrant,kekerasan terhadap minoritas,   dan  kekerasan seksual pada ranha domestik.

·         Negara harus memastikan bahwa semua tersangka yang sedang diinvestigasi dalam proses peradilan pidana harus teregistrasi termasuk termasuk anak-anak    

·         Negara harus mengambil semua langkah-langkah untuk mencegah polisi dan militer  menggunakan kekerasan yang berlebihan dan/atau tindakan penyiksaan selama operasi militer, khususnya terhadap anak-anak 








·         Negara harus menaikkan usia pertanggung jawaban pidana anak sesuai dengan norma dan standar internasional
·         Menghapus semua bentuk penghukuman fisik terhadap anak 
·         Tindakan terhadap anak harus sesuai dengan usia anak
·         Menjamin sistem peradilan pidana anak      berdasarkan pada Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (the Beijing Rules),   Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the Riyadh Guidelines) dan   Rules for the Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty (the Tokyo Rules).

·         Negara harus mengambil upaya yang efektif untuk mencegah kekerasan terhadap anak yang berada dalam pengungsian, membuatkan akta kelahiran untuk mencegah anak dilibatkan dalam konflik bersenjata anak


·         Negara harus mengkompilasi data statistic  yang relevan guna memonitor implementasi Konvensi CAT dalam level nasional, termasuk tuntutan, penyelidikan, penuntutan, dan penhukuman terhadap kasus penyiksaan, perlakuan salah, terhadap anak-anak  


Selain rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan oleh dua komite tersebut di atas, realita ketiadaan instrumen hukum yang melindungi anak dari tindakan penghukuman badan, sebagai salah satu bentuk dan manifestasi kekerasan yang menjadi ruang lingkup Konvensi CAT[4], dapat merujuk pada hasil amatan dari Global Initiative to End Corporal Punishment of Children pada Januari 2008, Negara Indonesia termasuk salah satu   negara yang belum memiliki komitmen  secara legal  untuk melarang tindakan penghukuman badan  (prohibition incomplete and no commitment to reform). Tabel di bawah ini menunjukkan hal tersebut.

Negara
Larangan penghukuman badan di rumah
Larangan penghukuman badan di sekolah
Larangan penghukuman badan  di sistem peradilan pidana
Larangan penghukuman badan   di tempat layanan lain
Tahanan/
narapidana
Tindakan
 pendisiplinan
Indonesia
Belum ada
Belum ada
Ada
Belum ada
Belum ada


Dalam studi ini terdapat catatan bahwa larangan penghukuman badan telah diatur dalam tetapi justru terdapat dalam hukum syariah di Provinsi Aceh dan peraturan daerah  berbasis hukum Islam. [5]


Hasil Konsultasi Anak tentang Kekerasan terhadap Anak[6]
             Konsultasi Anak yang dilakukan di 18 provinsi dengan melibatkan sedikitnya 580 anak pada Mei-Juni 2005, menghasilkan informasi yang sangat jelas bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada ruang-ruang sosiologis yang sangat intim dan dekat dengan kehidupan anak. Locus kekerasan tersebut terjadi pada :

  1. Kekerasan terhadap anak  di ranah rumah dan keluarga (Violence against Children in the Home and the Family)
  2. Kekerasan terhadap anak  di ranah sekolah ( Violence against Children in Schools)
  3. Kekerasan terhadap anak  di ranah Institusi (Violence against Children in Institutions)
  4. Kekerasan terhadap anak  di ranah tempat bekerja (Violence against Children in Work Situations
  5. Kekerasan terhadap anak  di ranah komunitas dan jalan (Violence against Children in the Community and on the Street)
  6. Kekerasan terhadap anak  di ranah Institusi peradilan pidana (Violence against Children in Conflict with the Law)

Kemudian bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut hasil konsultasi tersebut  meliputi:

  1. Kekerasan fisik
  2. Kekerasan psikis
  3. Eksploitasi fisik untuk kepentingan ekonomi
  4. Kekerasan seksual dan eksplotasi seksual
  5. Kekerasan yang diakibatkan tradisi atau adat

Untuk melindungi anak dari tindak kekerasan, konsultasi anak tersebut memberikan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Pentingnya kampanye global untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak
  2. Perubahan sistem hukum nasional yang lebih sensitive terhadap anak
  3. Pembuatan regulasi di tingkat pusat maupun daerah yang melarang segala bentuk penghukuman fisik pada anak di rumah dan di sekolah
  4. Pembentukan institusi lokal untuk mengkaji dan mendiskusikan kembali kebiasaan dan praktek-praktek adat yang melegitimasi kekerasan terhadap anak serta mengancam hak-hak anak
  5. Meningkatkan kapasitas anak dan masyarakat secara umum agar semua pihak lebih memahami hak-hak anak


Kewajiban Negara Memberikan Perlindungan
            Kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari tindakan bentuk penghukuman fisik dan bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak bermuara pada kebijakan publik. Keberpihakan Negara untuk merespon isu tersebut dalam kebijakan publik semestinya berbentuk:

  1. Legislasi
  2. Regulasi
  3. Anggaran publik
  4. Program
  5. Perencanaan

Kewajiban negara   untuk mengambil kebijakan publik guna merespon permasalahan  penghukuman fisik dan bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak dimandatkan oleh instrumen Hukum HAM internasional terbaca pada Konvensi Hak Anak (KHA) dan Konvensi Anti Penyiksaan. 

Mandat perlindungan tersebut dalam KHA diatur dalam Pasal 37 menyatakan  bahwa  tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
Kemudian Pasal dalam KHA yang relevan dengan kekerasan terhadap anak meliputi:[7]

1.       Pasal  3  mengatur mengenai  kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan anak
2.      Pasal 6 menetapkan bahwa memastikan menjamin sampai pada jangkauan semaksimum mungkin ketahanan dan perkembangan anak.
3.      Pasal 19 yang menyatakan bahwa Negara harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak. 
4.      Pasal 28 mengatur pemenuhan hak anak atas pendidikan  dengan menyaratkan negara harus mengambil langkah- langkah yang tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia anak dan sesuai dengan KHA.
5.      Pasal 40 menegaskan  dalam penegakan sistem peradilan pidana anak memiliki hak untuk diperlakukan untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak

Kemudian Komite Hak Anak melalui Komentar Umum (General Comment) melakukan interpretasi legal untuk mengelaborasi kewajiban negara untuk melindungi anak dari tindakan kekerasan.

1.          Komentar Umum No. 1 mengenai tujuan dari pendidikan (the aims of education) , Pasal 29 (1) menyatakan bahwa :
Penghukuman fisik tidak sesuai dengan KHA, oleh karenanya pendidikan harus menghormati martabat anak dan menghargai ekspresi anak di sekolah. Di samping itu, pendidikan juga harus  memajukan nilai-nilai nir kekerasan di sekolah
2.         Komentar Umum No. 8 mengenai Penghukuman Fisik[8] menyatakan bahwa:
Kewajiban Negara untuk segera melarang dan menghapus semua bentuk penghukuman fisik dan semua hukuman yang kejam atau penghukuman yang merendahkan martabat anak seperti yang diatur dalam Pasal 19, Pasal 28 (2) dan Pasal 37, mengadopsi dalam legislasi,  melakukan penyadaran publik dan menetapkan strategi untuk mengurangi dan mencegah segala bentuk kekerasan anak di komunitas.

Selanjutnya,  dalam konteks perlindungan anak terdapat 4 (empat) level respon  Negara dalam merespon penghukuman fisik terhadap anak di rumah, di sekolah, di institusi peradilan pidana, dan institusi layanan sosial anak. Idealnya respon Negara berada pada posisi level keempat dengan tindakan melislagi larangan secara penuh terhadap tindakan penghukuman fisik pada locus sebagaimana tersebut di atas.
           
Kewajiban-kewajiban tersebut dikunci dengan ketentuan Pasal 4 KHA yang menyatakan bahwa:
Negara harus  melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini.

Dengan kata lain Pasal ini mendelegasikan kepada negara  untuk mengambil langkah-langkah yang menjadi kewenangan atributifnya. Melalui kewenangannya tersebut, negara harus mengambil semua langkah legislatif, administrasi, dan langkah lain yang tepat.[10] Untuk itu  Tindakan tindakan yang harus diambil oleh Negara sesuai dengan kewajiban yang diatur dalam pasal tersebut meliputi [11]

1.       Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh berkesesuaian dengan prinsip-prinsip dan  ketentuan KHA ;
2.      Membuat suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hak-hak anak ;
3.      Pengalokasian dan analisis anggaran public  berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak.

Instrumen Hukum HAM utama yang lain juga mutatis mutandis mengatur kewajiban Negara  memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari tindakan bentuk penghukuman fisik dan bentuk penghukum yang kejam atau merendahkan martabat anak.

1.       Konvensi Anti Penyiksaan
Pasal-pasal yang relevan antara lain:
a)     Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "penyiksaan" berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional atau peraturan perundang-undangan nasional yang mengandung atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan penerapan yang lebih luas.
b)  Pasal 2
Negara harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya.
c)     Pasal 16
Negara  harus mencegah, di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1, apa bila tindakan semacam itu telah dilakukan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap tindak penyiksaan ke bentuk-bentuk lain dari perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.

2.      Kovenan Hak Sipil dan Politik
Kewajiban negara tersebut terdapat pada ketentuan sebagai berikut:
a)     Pasal 7
Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
b)     Pasal 10
Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia
c)     Pasal 24 (1) :
Setiap anak berhak untuk mendapat hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran
d)    Pasal 26
Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.

3.     Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia No . 20
Komentar umum tersebut menyatakan bahwa
Larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan terkait tidak hanya tindakan yang mengakibatkan luka tetapi juga tindakan yang menyebabkan penderitaan mental bagi korban. Lebih jauh Komite juga menyatakan bahwa larangan tersebut diperluas mencakup pula tindakan penghukuman fisik.

4.    Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya
a)     Pasal 10 (3):
Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan harus diberikan untuk kepentingan semua anak dan remaja, tanpa diskriminasi apapun berdasarkan keturunan atau keadaan-keadaan lain.
b)     Pasal 13 (1):
Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar.

5.     Komentar Umum Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya No. 13 tentang Hak atas Pendidikan .
Adapun Komentar Umum tersebut menyatakan bahwa:
Penghukuman fisisk tidak sesuai dengan prinsip fundamental hukum HAM Internasional yang tercantum dalam Deklarasi Umum Universal HAM dan kedua Kovenan. Di sisi lain aspek penghukuman fisik juga bertentangan dengan martabat manusia. 

Berdasarkan paparan di atas salah satu upaya yang efektif untuk melindungi anak dari tindakan   penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah larangan  tindakan tersebut dinyatakan secara eksplisit dalam hukum. Artinya anak-anak seperti halnya warga negara yang lain memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan secara hukum dari tindakan  pada semua lingkungan sosiologis kehidupan mereka, seperti di rumah, di sekolah, di institusi peradilan pidana, institusi layanan sosial, di komunitas, dan tempat kerja. 

Kendati reformasi hukum (law reform) merupakan upaya yang esensial dan fundamental untuk melindungi hak anak, namun upaya tersebut harus dibarengi dengan penyadaran pada aparat (awareness-raising) dan pendidikan publik (public education) kepada masyarakat. Dengan kata lain ketiga pilar dari sistem hukum yaitu: (i) substansi hukum; (ii)struktur hukum/tatanan hukum; dan (iii) budaya hukum, harus menjadi strategi untuk menginternalisasikan dan menginstitusionalisasikan prinsip-prinsip dan norma-norma  perlindungan anak. Dalam konteks  mengeksaminasi implementasi KHA oleh suatu Negara , Komite Hak Anak menetapkan Petunjuk Laporan Periodik (Guidelines for Periodic Reports) di mana dalam petunjuk ini ditetapkan langkah yang dapat diambil yaitu dengan cara menciptakan  lingkungan yang kondisuf untuk   memastikan menjamin sampai pada jangkauan semaksimum mungkin ketahanan dan perkembangan anak, termasuk fisil, mental, spriritual, moral, psikologis, dan pengembangan sosial, dengan cara yang sesuai dengan martabat anak sehingga mempersiapkan kehidupan anak sebagai individu dalam komunitas.  Selanjutnya Komite merekomendasikan langkah implementasi tersebut dilaksanakan di luar ranah hukum sebagai berikut:

1.       Memberikan pelatihan yang memadai dan sistematis dan kepekaan terhadap hak anak seperti pada anggota parlemen, hakim, pengacara, penegak hukum, tenaga medis, guru, administrasi dan staf sekolah, dan pekerja sosial
2.      Mengembangkan metode untuk mempromosikan hak anak, khususnya pada pemerintah daerah dan mendukung aktivitas NGO
3.      Menerapkan prinsip-prinsip umum KHA dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan pada setiap level  juga kepada pengambil kebijakan pada institusi sosial dan kesejahteraanm pendidikan hakim, dan otoritas administrasi
4.      Mengambil langkah  efektif  yang   ditujukan untuk menghilangkan prasangka atau tingkah laku yang diskriminatif

Lebih jauh Komite menyatakan bahwa nilai-nilai tradisi yang menjadi acuan tingkah laku masyarakat membatasi penghormatan terhadap pandangan anak. Untuk itu Komite merekomendasikan negara untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1.       Mempromosikan dalam keluarga, sekolah, dan institusi demikian pula pada peradilan dan prosedur administrasi untuk menghormati pandangan anak dan memfasilitasi partisipasi mereka pada setiap permasalahan yang berpengaruh pada kehidupan mereka
2.      Mengambil langkah segera untuk menolak pemberlakuan budaya impunitas terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap anak
3.      Mengambil langkah yang memadai, mencakup kampanye pendidikan publik yang komprehensif untuk mencegah dan menolak tindakan negatif masyarakat yang membedakan kelompok secara etnis
4.      Membuka akses atas dampak alokasi anggaran publik dalam mengimplementasikan hak asasi anak
5.      Memprioritaskan dan  mentargetkan layanan sosial bagi anak-anak yang rentan.[13]

Upaya-upaya implementasi KHA tersebut ditujukan untuk  mengembangkan lingkungan yang protektif terhadap anak dari  tindakan   penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Untuk mengembangkan lingkungan yang protektif terhadap anak terdapat 8 (delapan) elemen kunci, yaitu:[14]

  1.  Kapasitas dan komitmen Pemerintah (Government Commitment and Capacity)
Perlindunganmelalui upaya ini termasuk: meratifikasi konvensi internasional tanpa reservasi, ketentuan alokasi anggaran publik yang melindungi anak, deklarasi komitmen  publik, kebijakan yang berpusat pada kepentingan anak dan mendukung usaha publik
  1.  Legislasi dan penegakan hukum (Legislation and Enforcement)
Upaya ini dilakukan melalui: inkorporasi  standar internasional yang relevan, menuntut pelaku,  memfungsikan peradilan dan kepolisian tanpa intervensi, mekanisme ganti rugi yang terakses, prosedur hukum yang rahasia dan ramah anak, ketersediaan bantuan hukum, tidak melakukan kriminalisasi korban dan  menempatkan rezim keadilan bagi anak/keadilan restoratif
  1. Diskusi terbuka (Open Discussion   )
Proteksi ini antara lain dilakukan melalui: kesepakatan antara masyarakat sipil dengan media bahwa fenomena kekerasan tidak akan diberitakan oleh media dan tidak diakui, kesalahan  melindungi anak dinyatakan oleh komunitas dan Pemerintah, pengakuan bahwa anak-anak dan remaja memiliki kemampuan untuk menyatakan permasalahannya di sekolah, di rumah, dan tempat lain, korban bukan untuk diasingkan, dan media dan LSM dapat bekerja sama.
  1. Tradisi dan budaya (Culture and Customs)
Perlindungan ini  dilakukan melalui: menciptakan lingkungan yang tidak diskriminatif, mempraktikan  kepedulian pada  anak bukan penghukuman fisik, kekerasan bukan  komponen kunci identitas maskulin,  orang tua menolak  FGM, penyelesaian sengketa secara damai, anak diperlakukan secara bermartabat, eksplotasi seksual secara sosial tidak diterima, praktik-praktik kekerasan tidak didukung oleh umat beragama, dan anak-anak difabel, dan penderita AIDS tidak distigmatisasi   
  1. Kecakapan hidup, Pengetahuan, dan Partisipasi (Children’s Life Skills, Knowledge, Participation)
Perlindungan ini meliputi: lingkungan yang peduli bahwa anak memiliki hak asasi, mendorong anak agar berpendapatan dan berekpresi, menyediakan kebutuhan atas informasi, memiliki kemampuan memecahkan masalah dan  bernegosiasi, mendorong anak agar memiliki kepercayaan diri, dan anak-anak didengar pendapatnya di sekolah, di rumah, dan di komunitas.
  1. Kapasitas Keluarga dan komunitas (Capacity of Families and Communities)
Perlindungan ini mencakup : orang tua dan pemerhati anak yang lain mengawasi secara proaktif praktik-praktik perlindungan anak,  keluarga mendukung kebutuhan anak;  masyarakat mendukung dan mengawasi perlindungan anak, dan keseimbangan eksistensi  (orang dewasa tidak mendominasi)
  1. Pelayanan dasar  (Essential Services)
Perlindungan ini mencakup: pendidikan gratis bagi semua anak termasuk pengungsi, ketentuan non diskriminasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, termasuk pekerja seks anak dan tahanan, memfungsikan sistem jaminan sosial, shelter, hotline; dan training kepada guru.
  1. Monitoring, Pelaporan, dan Kelalaian   (Monitoring, Reporting, and Oversight)
Perlindungan ini mencakup: pengumpulan data secara sistematis, pelaporan data secara transparan dan peninjauan oleh pembuat kebijakan, akses bagi pengamat independen yang melakukan observasi terhadap kelompok anak yang secara tradisional termarjinalkan, mendorong penghormatan peninjauan masyarakat sipil
  


Mereformasi Hukum Indonesia
Sebagaimana telah disebut dimuka upaya yang harus menjadi prioritas utama (high priority) untuk melindungi anak dari tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat  melalui reformasi hukum. Reformasi hukum tersebut pertama kali dengan cara mentransformasi paradigma hukum yang menjadi spririt upaya reformasi hukum tersebut. Spirit untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis pendekatan hak.
 
Untuk mengeksaminasi  sampai sejauhmana reformasi hukum telah terjadi, salah satu indikatornya adalah derajat kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dan instrumen hukum HAM internasional utama lainnya.  Dengan kata lain KHA dan instrumen hukum HAM internasional utama lainnya menjadi landasan minimal bagi penyelenggara Negara dalam upaya menghargai, melindungi,  memenuhi, dan memajukan hak asasi anak.  Eksaminasi pertama berada pada ranah  politik HAM, politik hukum, dan  politik anggaran publik yang ditetapkan oleh para penyelenggara Negara.  Eksaminasi ini   terefleksikan dalam konstitusi, legislasi, regulasi, dan anggaran publik yang dibuat oleh para.    konstitusi, legislasi, regulasi, dan anggaran publik.

Dalam konteks Indonesia, hukum Indonesia belum sepenuhnya berkesesuaian dengan prinsip-prinsip dan norma-norma instrumen hukum HAM Internasional khususnya dalam memberikan perlindungan kepada anak dari tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.Rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan Komite Hak Anak dan Komite Anti Penyiksaan menjadi indikator adanya permasalahan dalam perlindungan anak tersebut. Mengacu pada paparan di atas maka langkah-langkah legislasi   dilakukan dengan cara :

  1. Mengamandemen peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a)  KUHP  
Substansi yang harus dimasukkan adalah:
-         Menetapkan definisi anak sesuai dengan KHA
-         Menetapkan batas usia pertanggung jawaban pidana anak sesuai dengan standar universal HAM
-         Mengatur pertanggungjawaban pidana anak dalam peristiwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama dengan orang dewasa
-         Menetapkan bentuk-bentuk tindak pidana secara limitatif  di mana anak dapat dimintakan pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
-         Prinsip kepentingan terbaik bagi anak, diversi, keadilan restorative, dan rehabilitasi berbasis komunitas dimasukkan sebagai prinsip-prinsip perlindungan anak
-         Mengatur   mengenai bentuk-bentuk perlakuan dan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang ditujukan pada anak yang dilakukan di rumah, di sekolah (pendidikan), di institusi peradilan pidana, dan di institusi layanan sosial anak
-         Merinci elemen-elemen  tindak pidana perlakuan dan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang ditujukan pada anak pada setiap locus di atas
-         Menghukum para pelaku yang melakukan bentuk-bentuk perlakuan dan hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang ditujukan pada anak yang dilakukan di rumah, di sekolah (pendidikan), di institusi peradilan pidana, di tempat kerja, dan di institusi layanan sosial anak
-         Mengadopsi  definisi penghukuman fisik (corporal punishment) dan mengatur mengenai bentuk-bentuk corporal punishment  seperti yang telah diatur dalam Komentar Umum Komite Hak Anak No. 8 mengenai Perlindungan Anak dari Penghukuman Fisik dan tindakan lain yang kejam atau penghukuman yang merendahkan martabat anak dan/ atau Negara-negara yang telah mengkriminalisasi tindakan corporal punishment
b)    KUHAP
Substansi yang harus dimasukkan adalah:
-         Mengadopsi prinsip-prinsip dan norma-norma yang diatur dalam  Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (the Beijing Rules),   Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the Riyadh Guidelines) dan   Rules for the Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty (the Tokyo Rules).
c)  Peraturan Perundangan yang mengatur Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman
-         Menetapkan diversi sebagai kewenangan atributif bagi setiap aparat penegak hukum apabila menghadapi kasus anak
d)  UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
-         Menetapkan definisi anak sesuai dengan KHA
-         Menetapkan batas usia pertanggung jawaban pidana anak sesuai dengan standar universal HAM
-         Mengatur pertanggungjawaban pidana anak dalam peristiwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama dengan orang dewasa
-         Menetapkan bentuk-bentuk tindak pidana secara limitatif  di mana anak dapat dimintakan pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
-         Prinsip kepentingan terbaik bagi anak, diversi, keadilan restorative, dan rehabilitasi berbasis komunitas dimasukkan sebagai prinsip-prinsip perlindungan anak
-         Menetapkan mekanisme penyelesaian di luar sistem hukum formal bagi   anak yang melakukan tindak pidana  melalui mekanisme penyelesaian masalah secara informal
-         Menetapkan kewenangan diversion bagi aparat penegak hukum secara atributif
e)    UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
-         Mengadopsi  definisi penghukuman fisik (corporal punishment) dan mengatur mengenai bentuk-bentuk corporal punishment  seperti yang telah diatur dalam Komentar Umum Komite Hak Anak No. 8 mengenai Perlindungan Anak dari Penghukuman Fisik dan tindakan lain yang kejam atau penghukuman yang merendahkan martabat anak atau Negara-negara yang telah mengkriminalisasi tindakan corporal punishment
-         Mengelaborasi elemen tindak pidana bentuk-bentuk corporal punishment  yang dilakukan di rumah, di sekolah (lembaga pendidikan), di institusi peradilan pidana, di tempat kerja, dan institusi layanan sosial anak lainnya
-         Mengadopsi prinsip-prinsip dan norma-norma yang diatur dalam  Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (the Beijing Rules),   Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the Riyadh Guidelines) dan   Rules for the Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty (the Tokyo Rules).
  1. Meratifikasi instrumen Hukum HAM Internasional yang terkait dengan perlindungan anak sesuai dengan Agenda RAN HAM 2004-2009 sebagai berikut:

a)    Protokol Tambahan KHA tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata
b)    Protokol Tambahan KHA tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak

  1. Meningkatkan  landasan hukum  ratifikasi KHA dari Keputusan Presiden menjadi Undang-Undang
  2. Memberikan landasan hukum terhadap penarikan reservasi terhadap KHA  dengan UU sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional  dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
  3. Meninjau ulang    Peraturan Daerah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan norma-norma perlindungan yang tercantum dalam KHA dan instrumen hukum HAM Internasional lainnya

Tindakan-Tindakan Lainnya

Kemudian tindakan lainnya yang signifikan dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka melaksanakan kewajibannya sebagai berikut:

  1. Meningkatkan alokasi anggaran publik bagi peningkatan program perlindungan anak
  2. Melakukan pelatihan yang memadai dan secara sistematis  mengenai hak asasi anak khususnya bagi militer, polisi,  jaksa, hakim, advokat, guru, tenaga medis, dan pekerja sosial lainnya
  3. Memasukkan  hak asasi anak sebagai materi muatan kurikulum pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi
  4. Membentuk kemitraan antara komunitas, organisasi keagamaan, anak-anak,  korporasi termasuk media, dan aparat pemerintah untuk melindungi anak-anak
  5. Meningkatkan kapasitas anak untuk berpartisipasi





[1] Lihat Pasal 19 (1) KHA:
Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selam dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak.”
[2] Lihat Report of the independent expert for the United Nations study on violence against children. The United Nations Study on Violence against Children, 2003
[3] Lihat  GENERAL COMMENT No. 8 (2006) The right of the child to protection from corporal punishment and other cruel or degrading forms of punishment (arts. 19; 28, para. 2; and 37, inter alia)




[4] Lihat Pasal 16 ayat (1) Konvensi Anti Penyiksaan :
Setiap Negara Pihak harus mencegah, di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1, apabila tindakan semacam itu telah dilakukan oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap tindak penyiksaan ke bentuk-bentuk lain dari perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
[6]  Lihat  Kekerasan terhadap Anak di Mata Anak Indonesia: Hasil Konsultasi Anak tentang Kekerasan terhadap Anak di 18 Provnisi dan Nasional, KPP, UNICEF, CCF, Plan, YKAI, YPHA, Save the Children, WVI, 2005

[7]  Peter Newell menunjuk Pasal 2, Pasal 3, Pasal  6, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 20, Pasal 23,  Pasal 24,  Pasal 25 dan Pasal  37 KHA untuk mendeskripsikan kewajiban Negara untuk melindungi anak dari tindak kekerasan. Lihat REPORT ON THE EAST ASIA AND PACIFIC REGIONAL CONSULTATION ON VIOLENCE AGAINST CHILDREN, United Nations Secretary General’s Study on Violence against Children, 2005

[8] Komite Hak Anak dalam Komentar Umum No. 8 mendefinisikan penghukuman fisik  dalam paragraph 11: 
Penghukuman fisik (corporal)  sebagai setiap penghukuman yang mana kekuatan fisik dipergunakan dan ditujukan untuk menyebabkan luka atau perasaan tidak nyaman , dan hal lain yang serupa.  Perbuatan ini juga mencakup penghukuman  non fisik yang  lain yang kejam dan merendahkan martabat anak  dan tidak sesuai dengan KHA. 
[9] http://www.endcorporalpunishment.org/pages/frame.html
[10] Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on The Rightd of the Child,  UNICEF, Geneva, Switzerland,  1998
[11]  Rachel Hodgkin dan Peter Newell,   ibid

[12] Mengadopsi langkah-langkah yang  telah diujicobakan pada 3 (tiga) negara di Amerika Latin, yakni : Costa Rica, Venezuala, dan Brazilia. Semua proses selalu diawali pada upaya mereformasi tatanan hukum melalui program legislasi nasional dalam rangka penyesuaian dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA. Lihat, Dorothy Rozga, Applying a Human Rights Based Approach to Programming : Experiences of UNICEF, Presentation Paper prepared for the Workshop on Human Rights, Assets and Livelihood Security, and Sustainable Development, London, UK, 2001

[13] Karin Landgren, The Protective Environment: Development Support for Child Protection, HUMAN RIGHTS QUARTERLY, Project Muse, 2005
[14]  Karin Landgren, ibid

[15] [15]  Karin Landgren, ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar