Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Selasa, 01 Oktober 2013

Nusa Tenggara Timur, Provinsinya "Para Yatim"

Berdasarkan atas data-data yang telah tekumpul, Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang memiliki jumlah yatim terbesar di Indonesia (sindonews.com, 6/6/2013). Jumlahnya mencapai 492.519 anak, dan hingga saat ini mereka belum tertangani dengan baik oleh negara. Keberadaan mereka masih ditanggung oleh lembaga-lembaga zakat maupun perorangan, seperti seorang pilot pesawat terbang yang saat ini sudah menampung 47 anak, serta seorang dokter yang tergerak hatinya setelah melihat banyaknya anak-anak yatim yang terlantar.
  
Besarnya jumlah anak yatim tersebut merupakan salah satu dampak dari perang saudara di Timor Leste (dulu Provinsi Timor-Timur) sekitar satu dasawarsa silam. Perang saudara yang diakhiri oleh jajak pendapat (1999) dengan keputusan berdirinya negara baru Timor Leste tersebut, menyebabkan eksodus penduduk besar-besaran ke wilayah Nusa Tenggara Timur. International Crisis Group (2010) mencatat ada empat kelompok massa yang bergabung dalam gelombang eksodus besar-besaran. Mereka adalah milisi pro-integrasi (dengan Indonesia) bersama keluarganya, bekas pegawai negeri di Timor Timur, warga biasa yang sukarela memilih Indonesia, dan warga biasa yang dipaksa eksodus oleh milisi.
  
Adapun Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), mencatat bahwa pada 2005 sekitar 10 ribu orang masih tinggal di kamp pengungsian. Adapun 16 ribu orang lainnya telah membaur dengan warga Nusa Tenggara Timur melalui berbagai program bantuan. Mereka tersebar di wilayah Kupang, Belu, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Timur, dan Sumba Barat. Hingga 2009, data resmi pemerintah itu belum terkoreksi.
  
Kondisi tak ideal tersebut ditambah dengan serangan wabah penyakit menular seperti malaria dan tubercolose (TBC) yang merenggut banyak nyawa sehingga memperbesar jumlah anak yatim di NTT.
  
Hal yang paling memperihatinkan dari para yatim NTT adalah masalah pendidikan. Masih banyak dari mereka yang belum bersekolah. Zainudin, seorang penggiat kemanusiaan (2013) di kota Kupang menerangkan bahwa banyak anak yatim yang tidak bersekolah. Dia sendiri telah berusaha untuk mengatasi hal itu dengan mengirim mereka untuk belajar di pulau Jawa.
  
Sebagaimana diketahui bersama hingga saat ini belum ada kriteria formal anak yatim dalam konstitusi di Indonesia. “Dalam kebijakan Kementerian Sosial Republik Indonesia, khususnya dalam perlindungan anak hanya ada empat kriteria, yaitu : anak balita terlantar, anak terlantar, anak nakal, dan anak jalanan. Kriteria anak yatim belum secara spesifik masuk dalam referensi perlindungan anak oleh negara. Kriteria "yatim-miskin" belum masuk ke dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS).

Kondisi di atas hanya sekilas kecil dari upaya penyelesaian masalah anak yatim di NTT yang dilakukan oleh perorangan maupun swasta (lembaga zakat). Semoga kedepannya ada sinergi yang lebih baik dari berbagai pihak, khususnya dari pemerintah Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar