Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 14 Oktober 2013

Konsep Diri Anak yang Berkonflik dengan Hukum

KONSEP DIRI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Studi Kualitatif tentang Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada Rumah Tahanan Klas I Surabaya, Medaeng – Sidoarjo

Oleh: Estu Putri Wilujeng
Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga

ABSTRAK
Anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) merupakan anak yang disangka atau dituduh telah melanggar undang-undang hukum pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum yang berusia 12 hingga 18 tahun, ada yang berujung pada hukuman penahanan. Di dalam rumah tahanan, mereka sering menjumpai ABH lainnya, tahanan/ narapidana dewasa lainnya dan petugas rutan. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi proses pembentukan konsep dirinya karena Konsep diri merupakan gambaran tentang diri mereka sendiri yang muncul dari hasil interpretasi terhadap dunia sekitar mereka saat berinteraksi. Di dalam rutan tentu sangat rawan pelanggaran hak anak yang akan mempengaruhi konsep diri mereka. Untuk itu, perlu untuk mengetahui bagaimana konsep diri ABH setelah berinteraksi dengan penghuni ABH lainnya.
Pendekatan yang digunakan untuk menjawab persoalan tersebut yakni sosiologi interpretif dimana manusia berperilaku berdasarkan hasil interpretasi terhadap dunia di sekitarnya. Teori yang digunakan yakni konsep diri dari C.H Cooley dan Herbert Mead. Metode yang digunakan untuk menjawab persoalan tersebut yakni penelitian kualitatif terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum di dalam Rutan Medaeng, maupun ABH yang pernah berada di Rutan Medaeng.
Hasil yang ditemukan yakni (1) interaksi ABH terhadap ABH lainnnya bervariasi tergantung anggapan ABH terhadap ABH lainnya, interaksi ABH terhadap Tahanan dewasa cenderung sebagai relasi kuasa, dimana tahanan dewasa yang berkuasa, interaksi ABH terhadap petugasrutanjugaberuparelasikuasa. (2) proses pembentukan konsep diri ABH berawal dari ABH membayangkanreaksi orang lain di dalamrutan, dan kemudian menafsirkannya sehingga muncul refleksi sosial tentang diri mereka sendiri. Namun, hal tersebut juga dipengaruhi dari seberapa besar kelompok primer mereka yang ada di luar rutan dalam memberikan dukungan terhadap mereka; (3) Konsep diri ABH memiliki banyak variasi yang dapat diklasifikasikan berdasarkan tindakan pelanggaran hukum dan motif dalam melakukan.



Kata Kunci: interaksi, interpretasi, konsep diri,  anak yang berkonflik dengan hukum.


ABSTRACT

Children in conflict with law (CCL) are a child suspected or accused of having infringed the penal law statute. Children in conflict with the law which have 12 to 18 years old can get arrested as the punishment. Inside the prison, they often find other CCL, custody / other adult prisoners and prison officers. It will certainly affect the formation of self-concept because self-concept is an image of themselves which arise from the interpretation of the world around them while interacting. In the prisons of course very vulnerable child rights violation that will affect their self-concept. For that, we need to know what the self-concept of CCL is after interacting with the other occupants.
The approach used to answer these issues is an interpretive sociology in which humans behave based on the interpretation of the world around him. The theory used the self-concept of CH Cooley and Herbert Mead. The methods used to answer these issues are a qualitative study of children in conflict with the law in the Rutan Medaeng, and ABH had been in detention Medaeng.
The results found in this study were 1) interaction between CCL is varies depending on other assumptions to the other CCL, the interaction between CCL and adults prisoner tend to be as power relations, in which adult prisoners in power, the interaction of ABH against prison officers are also in the form of power relations. 2) The formation of self-concept originated from the CCL. CCL imagine the reactions of others in the crease, and then interpret it so that it appears social reflection about them. However, it is also influenced by how big their primary groups that are outside the crease in providing support to them; and 3) self-concept of CCL has many variations that can be classified based on illegal actions and motives in doing.

Key Words: interaction, interpretation, self-concept, children in conflict with law















KONSEP DIRI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Studi Kualitatif tentang Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada Rumah Tahanan Klas I Surabaya, Medaeng – Sidoarjo

Pendahuluan
Anak yang berkonflik dengan hukum atau ABH adalah anak yang disangka atau dituduh telah melanggar undang-undang hukum pidana. Seorang anak baru dapat diajukan ke persidangan minimal pada usia 8 tahun hingga 18 tahun. Namun, hanya ABH yang berusia diatas 12 tahun yang bisa mendapatkan hukuman pidana berupa kurungan.
Anak yang berkonflik dengan hukum telah menjadi beberapa bahan kajian  (Astuti, 2003; Suryani dan Henny Andriani, 2008; Ichwan, 2009; Nifianto, 2009; Purnianti, 2009). Studi-studi tersebut banyak mengkaji anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan perspektif hukum, dan psikologi. Studi-studi tersebut mengangkat persoalan tentang hukuman pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, berbagai macam ketidaktepatan hukuman pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, dan pelanggaran hak anak di dalam rumah tahanan ataupun lembaga pemasyarakatan. Sejauh ini studi sosiologis yang mengangkat persoalan anak yang berkonflik dengan hukum tentang latar belakang keluarga gambaran pola pembinaan (Saviatri, 2000) dan tentang hak anak di rumah tahanan Medaeng (Nifianto, 2009). Studi-studi tersebut belum mengangkat tentang bagaimana anak yang berkonflik dengan hukum memahami konsep diri mereka sendiri.
Banyak faktor yang yang mempengaruhi perilaku ABH, faktor yang menonjol antara lain dikarenakan gagalnya orang tua atau masyarakat dalam memenuhi keinginan anak. Kondisi tersebut menimbulkan kecenderungan anak memenuhi keinginannya sendiri dengan cara, kemampuan, dan persepsi yang dianggapnya tepat (Ichwan, dkk, 2009). Setiap tahunnya ada 4000 anak yang berkonflik dengan hukum, 90% diantaranya berakhir dipenjara, 73% dari angka tersebut adalah anak yang melakukan kejahatan ringan (petty crime) seperti pencurian kecil-kecilan. (Mediasi/10-12/2011).
Jumlah anak yang berkonflik dengan hukum memang tidak sedikit, hampir pada setiap provinsi memiliki sejumlah anak yang berkonflik dengan hukum. Berdasarkan data anak yang berhadapan dengan hukum dari situs kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Republik Indonesia pada tahun 2008 (dalam Dewi dan Fatahillah A. Syukur, 2011: 21) terdapat 41.778 anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia, untuk provinsi jawa timur sendiri terdapat 2713 anak yang berhadapan dengan hukum.
Kehidupan anak di dalam Rumah tahanan rawan terjadi tindak pelanggaran hak anak. Anak-anak yang ditahan harusnya berhak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah, berhak untuk memperoleh semua bantuan yang diperlukan dalam setiap tahapan peradilan, ditahan dalam tempat yang khusus untuk anak, dipisahkan dari terpidana dan hak pemenuhan kebutuhan khusus sesuai dengan usia dan jenis kelaminnya. Hal tersebut sudah selayaknya dilakukan agar proses tumbuh kembang ABH dapat berjalan dengan lebih baik. Namun,  persoalan pemidanaan anak sangat serius karena : (1) dalam proses peradilan cenderung terjadi pelanggaran hak asasi manusia bahkan banyak bukti menunjukkan ada praktek kekerasan dan penyiksaan terhadap anak yang masuk dalam mesin peradilan, (2) perspektif anak belum mewarnai proses peradilan, (3) penjara yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak mencapai proses pendewasaan yang diharapkan, (4) selama proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum kehilangan hak-hak dasarnya seperti komunikasi dengan orang tua, hak memperoleh pendidikan, dan hak kesehatan, dan (5) ada stigma yang melekat pada anak setelah selesai proses peradilan sehingga akan menyulitkan dalam perkembangan psikis dan sosial ke depannya.(Hadi Supeno. 2010. Dekriminalisasi Anak. KPAI. Dalam http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/190-alternatif-pemidanaan-restorative-justice-bagi-anak-berkonflik-dengan-hukum.html. Diakses pada Mei 2012) . Berada di dalam Rumah tahanan, dapat memberikan label tersendiri bagi penghuninya. Label atau stigma dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya, juga proses interaksi dengan penghuni lapas lainnyaakan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak yang berkonflik dengan hukum yang berada dalam lembaga pemasyarakatan.Biasanya, ada anak yang justru belajar menjadi penjahat dalam lapas dan muncul perasaan bangga ketika melakukan aksi kriminal, atau bisa jadi anak tersebut akan menjadi minder, atau malu akan kondisi yang sedang dialaminya, sehingga mereka akan menjadi anak yang berputusasa dalam menjalani kehidupan, dan merasa dirinya hanya cocok sebagai pelaku tindak kriminal. Sehingga, anak yang berkonflik dengan hukum yang telah masuk ke lapas akan berpotensi untuk melakukan tindakan kriminal lagi, seperti halnya yang terjadi pada salah seorang anak yang berkonflik dengan hukum yang melakukan aktivitas penodongan di jalanan Kota Surabaya. Anak tersebut tertangkap oleh warga dan diserahkan ke polisi saat menodong pengguna jalan, kemudian ia divonis untuk dididik dalam lapas. Setelah bebas kemudian ia melakukan tindakan penodongan lagi, bersama dengan pelaku tindak kriminal dewasa yang lebih berpengalaman dalam melakukan tindakan penodongan. Tapi akhirnya kemudian ia terseret lagi ke dalam lapas saat pelaku tindak kriminal dewasa tersebut tertangkap oleh polisi. Akhirnya ia pun kembali menjadi anak didik lapas[1]
Selain itu, kondisi lapas anak cukup memprihatinkan. pada situs berita tempo.co (Sabtu/14/01/2012) menyatakan bahwa dari 32 tahanan anak yang diwawancarai oleh KPAI, 18diantaranya pernah dianiaya selama ditahan baik penganiayaan dalam tataran psikis maupun fisik. Tindak kekerasan pada anak yang berkonflik dengan hokum dalam sebuah lembaga pemasyarakatan juga telah ditunjukkan dalam Analisa Situasi Sistem peradilan anak di Indonesia, yakni:
“kekerasan di dalam rumah tahanan juga mewarnai kehidupan empat anak perempuan ini. Meskipun mereka menjelaskan bahwa umumnya teman—teman di rutan baik tetapi ada ‘kewajiban’ bagi anggota baru untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, misalnya membersihkan kamar dan kamar mandi, menggantikan tugas piket kebersihan dari penghuni yang lebih lama. Tugas semacam ini sulit untuk ditolak .menurut keterangan anak perempuan 2 jika berani menolak akan ‘digulung’ yaitu dimarahi secara kasar bahkan ada yang sampai ditendang dan dipukuli. Penghuni lain yang melihat tidak berani lapor ke petugas.”(Purnianti, dkk, 2006: 157)
George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2003:290) bahwa manusia hanya memiliki kapasitas umum untuk berpikir. Kapasitas ini harus dibentuk dan diperhalus dalam proses interaksi sosial. Kemampuan manusia untuk berpikir dikembangkan sejak dini dalam sosialisasi anak-anak dan diperhalus selama sosialisasi di masa dewasa. Untuk itu, setiap proses pembelajaran berpikir pada setiap individu dimulai sejak anak-anak melalui interaksi sosial dari pihak-pihak yang terkait dengan anak-anak itu sendiri. Dengan interaksi kepada kelompok-kelompok atau individu-individu yang baik akan memberikan efek positif bagi anak. Jika kelompok primer, atau kelompok yang intensif berinteraksi dengan anak lebih bersifat positif, maka anak akan memiliki konsep diri yang positif dan begitu juga sebaliknya.
Konsep diri atau self concept merupakan suatu bagian yang penting dalam diri manusia. Konsep diri seseorang dapat dinyatakan melalui sikap dirinya yang merupakan aktualisasi dirinya.Konsep diri seseorang dapat terbentuk dan berubah karena interaksi dari lingkungannya. Konsep diri sesorang dapat diketahui dari informasi, pendapat dan penilaian dari orang lain. Konsep diri menurut Cooley yakni:
“konsep diri merupakan imajinasi definitif tentang bagaimana diri seseorang yaitu gagasan yang digunakan dan muncul dalam suatu pikiran dan perasaan diri yang dimiliki seseorang yang ditentukan oleh sikap terhadapnya, yang melekat pada pikiran orang lain…………. Tampilan luar kita, sopan santun, tujuan, perbuatan, karakter, sahabat, dan lain sebagainya yang dipengaruhi olehnya” (Cooley, 1902/1964: 169 dalam Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2011 )
Jadi, dari hasil interaksi terhadap lingkungan sekitar kita akan terlihat penilaian terhadap diri kita sendiri atau refleksi sosial tentang diri kita. Jika hasil penilaian dari orang lain yang tercermin saat berinteraksi tersebut menghasilkan refleksi sosial yang positif, maka akan menimbulkan konsep diri yang positif yang akan mempengaruhi pola perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga sebaliknya Misalnya jika seorang anak mendapati refleksi diri sebagai anak nakal pada saat ia berinteraksi dengan lingkungannya maka ia akan terus-terusan bersikap nakal dan mengganggu orang-orang yang ada di sekitarnya.
Perkembangan konsep diri tersebut dapat terjadi pada tiap individu, termasuk seorang anak. Untuk itu, refleksi sosial yang positif sangat diperlukan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, tanpa membeda-bedakan latar belakang dan status sosial anak, seperti halnya yang telah dicantumkan dalam Konvensi Hak Anak.
Dari berbagai kondisi lembaga pemasyarakatan tempat anak yang berkonflik dengan hukum yang telah dipidanakan, dan label atau stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap mereka akan berpotensi untuk mempengaruhi konsep diri anak yang berkonflik dengan hukum yang pernah atau sedang berada dalam lembaga pemasyrakatan tersebut, bisa jadi mereka menganggap diri mereka sebagai seseorang yang sedang mengalami proses pembenahan diri menjadi lebih baik, ataupun seseorang yang memang “ditakdirkan” sebagai pelaku tindak kriminal. Untuk itu, perlu memahami tentang konsep diri, atau gambaran imajinasi tentang diri anak yang berkonflik dengan hukum yang ada atau pernah berada dalam lembaga pemasyarakatan dari hasil interaksi dengan lingkungan yang ada disekitar mereka.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada Rumah Tahanan Klas I Surabaya, Medaeng - Sidoarjo
Pada Rumah tahanan Klas I Surabaya Medaeng Sidoarjo, terdapat 34 ABH dengan dua ABH berjenis Kelamin Perempuan dan 32 ABH berjenis kelamin laki-laki. Tindakan pelanggaran yang mereka gunakan juga beragam, mulai penyalahgunaan obat-obatan, penggunaan narkoba, pencurian, perilaku tindak kekerasan. Dari 32 tersebut dipilih tujuh informan yang memiliki variasi tindak pelanggaran hukum, antara lain: FDN (16 tahun) pelaku pengguna narkoba, NMC (17 tahun) pelaku pelanggaran hukum berupa pencurian, AAT (15 tahun) pelaku tindak kekerasan berupa pengeroyokan, MSK (16 tahun) pelaku penyalahgunaan obat-obatan, RWC (17 tahun) pelaku pelanggaran hukum berupa pencurian, NIN (17 tahun) pengguna narkoba dan TOC (17 tahun) pelaku pelanggaran hukum berupa pencurian. Ketujuh informan tersebut dipilih dengan metode purposive untuk menemukan konsep diri mereka. Konsep diri tersebut dapat dipahami melalui pendekatan sosiologi interpretif, dimana manusia dipahami sebagai makhluk yang bebas dan memiliki pilihan. Konsep diri pada anak yang berkonflik dengan hukum berawal dari proses interaksi mereka dan interpretasi yang mereka lakukan terhadap pihak-pihak dalam interaksi tersebut, kemudian proses pembentukan konsep diri, hingga menemukan konsep diri yang ada pada anak yang berkonflik dengan hukum.
Setiap manusia menginterpretasi apa yang terjadi di lingkungannya. Persoalan ini termasuk persoalan mikro, bukan pemahaman yang menyeluruh tentang masyarakat karena, bagi interpretivis jauh lebih sukar untuk menguraikan masyarakat yang merupakan hasil dari interpretasi sbagai “benar” dan “nyata”. (Jones, 2009: 28) Untuk memahami interpretasi seorang manusia atau anak yang berkonflik dengan hukum, tentunya pendekatan yang kita gunakan yakni pendekatan yang bersifat kualitatif, karena dalam penelitian kualitatif beranggapan bahwa realitas yang terbangun berdasarkan pandangan subyektif individu.
Interaksi ABH terhadap Penghuni Rumah Tahanan
Interaksi merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial, atau nama lainnya yakni proses sosial. Bentuk lain proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok. (Gillin dan Gillin, 1954 dalam Soerjono Soekanto, 1982: 55)
Secara teoritis, sekurang-kurangnya ada dua syarat bagi interaksi sosial, yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi. Terjadinya suatu kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut. Sedangkan aspek terpenting dari komunikasi adalah bila seseorang memberikan tafsiran pada sesuatu atau perikelakuan orang lain (Suyanto dan Septi Ariadi, 2004: 16).
Interaksi antar ABH memiliki intensitas yang sering, terutama untuk Anak berkonflik dengan hukum yang ada di blok I, karena seluruhnya adalah anak-anak. Sedangkan untuk anak yang berkonflik dengan hukum yang ada di blok W, atau ABH yang perempuan sekalipun satu blok, mereka terpisah dalam dua ruangan yang berbeda, sehingga intensitas interaksi mereka lebih sedikit jika dibandingkan dengan ABH yang laki-laki. Terdapat perbedaan bagaimana antar ABH memperlakukan ABH lainnya. Jika pandangan mereka terhadap ABH lainnya dapat dikatakan sejajar, maka mereka akan saling mendukung dan memotivasi untuk tetap semangat dalam menjalankan kehidupan di rumah tahanan. namun, jika ada ABH yang merasa dirinya lebih menguasai karena dekat dengan orang dewasa dan tamping, interaksi yang timbul adalah interaksi yang justru mengarah pada relasi kekuasaan, dimana anak tersebut nantinya justru akan memperlakukan ABH lainnya sebagai objek yang dapat mereka kuasai. Begitu juga sebaliknya, di dalam rumah tahanan juga ada anak yang justru akan bersikap inferior, atau merasa ia ada dalam posisi yang lemah. Anak yang demikian akan memiliki dua kecenderung memberikan tanggapan atas tindakan dari ABH lainnya. Ada ABH yang justru akan mengikuti apa yang dilakukan oleh pihak yang dianggap berkuasa, namun ada juga yang justru akan memberikan sikap perlawanan terhadap mereka yang berkuasa.
Proses Pembentukan Konsep Diri ABH
Konsep diri yang ada pada anak yang berkonflik dengan hukum juga terjadi melalui beberapa tahapan yang pertama ABH tersebut mulai membayangkan reaksi orang-orang disekitarnya yang berada dalam lembaga pemasyarakatan, setelah itu ia menafsirkan reaksi yang diberikan oleh orang sekitarnya yang termasuk ke dalam kelompok primer.
Salah satu contoh anak yang terjebak oleh lingkungannya yakni NMC. Ia sebenarnya tidak ingin mencuri kendaraan bermotor. Awalnya ia hanya diajak jalan-jalan sama temannya, tapi ternyata teman-temannya justru melakukan tindakan pencurian. Teman-temannya berhasil kabur, tapi NMC yang tidak tahu apa-apa justru terdiam di lokasi hingga akhirnya berhasil ditangkap oleh masyarakat dan diserahkan ke kepolisian. Namun, NMC tetap saja dianggap sebagai anak yang melakukan tindakan kriminal. Orang-orang di dalam rutan, seperti petugas pun juga memperlakukan dia sebagaimana mereka memperlakukan para pelaku tindak kriminal lainnya.
Proses labelling dari lingkungan sekitar NMC memang tidak begitu  berpengaruh terhadap pandangan akan dirinya sendiri. Ia masih tetap optimis untuk menjalankan cita-citanya sebagai TNI AL. hal tersebut disebabkan sosialisasi dari kelompok primer, seperti keluarga dan teman-temannya masih berpikiran positif terhadapnya. Dapat dikatakan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh NMC cenderung positif karena mengarahkan NMC untuk berperilaku lebih memikirkan tentang masa depan.
Berbeda lagi dengan AAT, AAT menafsirkan dirinya sebagai seorang yang kurang baik.Ia menafsirkan pandangan dari orang lain terhadap dirinya dan teman-teman pergaulannya. Kebiasaannya minum minuman keras yang tidak disukai oleh orang lain justru menyebabkan dia berperilaku lebih keras. Dia justru rela masuk ke dalam penjara dengan cara menyerahkan diri karena dia tahu dia berbuat yang tidak baik dan membiarkan teman-temannya masuk ke dalam rutan terlebih dahulu.
Konsep Diri ABH
Konsep diri merupakan gambaran suatu individu terhadap dirinya sendiri.Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa anak yang berkonflik dengan hukum terdapat beberapa perbedaan dalam menggambarkan dirinya sendiri.
Konsep diri yang dimiliki masing-masing oleh anak yang berkonflik dengan hukum berbeda antara yang satu dengan yang lain. berikut ini merupakan table yang menggambarkan keadaan diri ABH berdasarkan pemikiran ABH itu sendiri yang didapatkan dari hasil wawancara mendalam di Rumah Tahanan Klas I Surabaya, Medaeng, Sidoarjo.
Berdasarkan  data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa ada perbedaan konsep diri pada anak yang berkonflik dengan hukum.Anak yang melakukan tindakan pelanggaran dilandasi motif ketidaksengajaan dari luar dan melakukan tindakan tersebut atas dasar pelampiasan semata namun masih mendapatkan dukungan dari keluarga, cenderung mendapatkan konsep diri yang lebih positif. Mereka masih beranggapan bahwa diri mereka akan mendapatkan masa depan yang cemerlang. Selain itu hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi rumah tahanan bagaimana mereka biasa berinteraksi dengan penghuni rumah tahanan. semakin mereka dekat dengan penghuni rumah tahanan akan lebih mempengaruhi cara mereka menggambarkan diri mereka sendiri.
Contohnya NMC, yang mendapatkan tuntutan atas dasar tindakan pencurian kendaraan bermotor yang sebenarnya tidak ia lakukan. ia hanya berada di lokasi saat teman-temannya melakukan tindakan pencurian. Namun, ia masih memiliki harapan akan dirinya di masa depan. Ia ingin membuktikan bahwa ia bukan anak nakal, dan ia suatu saat pasti dapat membahagiakan orang tuanya.
“…..awalnya saya takut setelah kejadian ini nggak bisa jadi TNI AL, tapi kepala sekolah saya mau membantu ngusahain (mengusahakan) biar tetap bisa, dia ngusahain jangan sampai ke ekspos (dibahas) media.Dia juga ngusahain biar saya nggak lama-lama disini. Paling nggak cuman dua bulan aja, mbak”
NMC lebih banyak mendapatkan dukungan oleh keluarganya. Di dalam rumah tahanan dia tidak begitu banyak bergaul dan cenderung pendiam. Dia tidak terlalu dekat dengan tahanan/ narapidana lainnya baik yang seusia maupun yang lebih dewasa. Hal tersebut juga dialami oleh MSK yang menyatakan penyesalannya karena telah menggunakan pil koplo.Ia menggunakan pil koplo sebagai pelampiasan atas keadaan keluarganya yang kurang harmonis. Namun, ia menyesal karena telah menggunakan pil koplo tanpa mempertimbangkan akibatnya yang justru akan merepotkan kedua orangtuanya. Ia menganggap hal ini sebagai ujian yang harus ia jalani.
“perasaan terpuruk dan menyesal membuat saya ingin mengakhiri hidup,  tapi karena semua dukungan dan arahan dari orang tua sama teman sepenjara, saya sudah tahu bahwa ini adalah ujian untuk saya. Sekarang saya menunggu kebebasan yang selama ini saya tunggu…….setelah ini saya mau jadi lebih baik, mbak. Nggak mau yang kayak gini (masuk penjara) lagi. Nggak enak, nggak bisa bebas”

Begitu juga sebaliknya jika anak yang berkonflik dengan hukum tersebut melakukan tindakan pelanggaran hukum atas dasar bentuk ekspresi untuk membenarkan perilakunya, seperti penganiayaan, pengeroyokan cenderung menganggap tindakan tersebut sebagai hal yang biasa dan harus dilakukan sebagai bagian dari kehidupannya.
Salah satu contoh anak yang berkonflik dengan hukum yang melakukan tindakan pelanggaran hukum seperti ini yakni AAT.Ia cenderung berperilaku sebagai anak yang kuat dan berani karena telah melawan orang yang menyerang teman-temannya.
“pas saya ngelihat (melihat) satu temen saya ada yang dipukuli saya langsung pulang. Saat saya lari pulang ambil pisau, waktu mau balik ke tempat tadi, teman saya yang satunya lagi tanya saya mau kemana, ya saya jawab pulang ambil pisau mau bacok anak tadi, terus dia juga ikut ambil alat buat mukul di rumahnya………….. orangnya luka parah pokoknya mbak, jempolnya putus putus, telapak tangannya robek, bahunya juga luka kena pisau”
AAT merasa bahwa apa yang telah dia lakukan sebagai hal yang wajar karena pada saat pesta miras ia diganggu oleh orang-orang tersebut, mulai dari pandangan yang tidak enak, perkataan kotor yang diucapkan mereka dan perilaku mereka yang memukul teman AAT.
Berdasarkan temuan data yang dan analisis yang dilakukan, terdapat berbagai macam konsep diri anak yang berkonflik dengan hukum. Hal tersebut disebabkan mereka mengalami proses pembentukan konsep diri yang berbeda, terutama cara kelompok primer memperlakukan mereka, baik yang ada di luar rutan maupun yang ada di dalam rutan.berdasarkan analisis proses pembentukan konsep diri sebelumnya, Jika dalam kehidupan sehari-hari, anak yang berkonflik dengan hukum tersebut mendapatkan dukungan dari keluarga dan penyikapan yang baik dari penghuni rumah tahanan, maka akan muncul interpretasi tentang dirinya yang masih memiliki kesempatan untuk hidup lebih baik. Perbedaan konsep diri yang dimiliki oleh anak yang berkonflik dengan hukum tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan latar belakang atau motif mereka dalam melakukan tindakan. 
Bagi anak yang melakukan tindakan pelanggaran hukum atas dasar ketidaksengajaan atau dijebak oleh teman-temannya, mereka masih memiliki konsep diri yang positif. Mereka merasa bahwa mereka bukan anak yang nakal. Mereka merasa masih memiliki gambaran akan masa depan yang cerah.
Anak yang melakukan tindakan penyalahgunaan obat-obatan cenderung menyesali perbuatannya. Mereka merasa memang pernah menjadi anak yang nakal dan mengecewakan orang tuanya, namun mereka masih ingin berubah saat merasakan kebebasan nantinya.Mereka tidak ingin terjebak dalam permasalahan yang sama lagi. Bagi mereka, kehidupan di dalam rumah tahanan tidak menyenangkan, jauh lebih baik ketika mereka berada di luar rumah tahanan.
Anak yang melakukan tindakan pelanggaran hukum atas dasar spontanitas, atau ekspresi atas keadaan yang menimpanya, cenderung tidak merasa bersalah dan ada sedikit kebanggaan karena telah melakukan tindakan tersebut. Mereka akan menganggap diri mereka semacam “jagoan” dan apa yang mereka lakukan merupakan hal biasa. Mereka menganggap hal tersebut sebagai aksi heroic untuk menyelamatkan lingkungan pergaulan mereka.
Anak yang melakukan pelanggaran hukum yang bersifat instrumental, seperti RWC, merasa dirinya sebagai pencuri karena ia telah melakukan hal tersebut beberapa kali bersama komplotannya. Namun setelah mengalami penipuan oleh teman komplotannya dan ia ditangkap oleh kepolisian ia merasa menyesal. Dengan demikian, konsep diri yang muncul yakni orang yang menyesal atas perbuatannya, karena ia justru dirugikan karena tidak dapat bertemu dengan keluarga.
KESIMPULAN
Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan anak yang disangka atau dituduh telah melanggar undang-undang hukum pidana. Berdasarkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak tahun 2002, anak baru bisa mendapatkan sanksi pidana berupa kurunganketika berusia berusia 12 hingga 18 tahun.
Anak yang berkonflik dengan hukum di dalam rumah tahanan sangat dibatasi untuk bertemu dengan keluarga maupun teman, di dalam rumah tahanan.Di dalam rumah tahanan, mereka sering menjumpai anak yang berkonflik dengan hukum lainnya, tahanan/ narapidana dewasa lainnya dan petugas rutan. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi proses pembentukan konsep dirinya. Konsep diri merupakan gambaran tentang diri mereka sendiri yang muncul dari hasil interpretasi terhadap dunia sekitar mereka saat berinteraksi, termasuk saat ABH berinteraksi dengan penghuni rumah tahanan lainnya. Interpretasi pada saat berinteraksi terhadap penyikapan lingkungan sekitar oleh ABH akan mempengaruhi proses pembentukan dirinya.
Interaksi yang terjadi pada ABH terhadap ABH lainnnya bervariasi tergantung anggapan ABH terhadap ABH lainnya, interaksi ABH terhadap Tahanan dewasa cenderung sebagai relasi kuasa, dimana tahanan dewasa yang berkuasa, interaksi ABH terhadap petugas rutan juga berupa relasi kuasa.
 Proses pembentukan konsep diri ABH berawal dari ABH membayangkanreaksi orang lain di dalam rutan, dan kemudian menafsirkannya sehingga muncul refleksi sosial tentang diri mereka sendiri. Namun, hal tersebut juga dipengaruhi dari seberapa besar kelompok primer mereka yang ada di luar rutan dalam memberikan dukungan terhadap mereka
Konsep diri ABH memiliki banyak variasi yang dapat diklasifikasikan berdasarkan tindakan pelanggaran hukum dan motif dalam melakukan. Bagi anak yang melakukan tindakan pelanggaran hukum atas dasar ketidaksengajaan atau dijebak oleh teman-temannya, mereka masih memiliki konsep diri yang positif. Mereka merasa bahwa mereka bukan anak yang nakal. Mereka merasa masih memiliki gambaran akan masa depan yang cerah. Anak yang melakukan tindakan penyalahgunaan obat-obatan cenderung menyesali perbuatannya. Mereka merasa memang pernah menjadi anak yang nakal dan mengecewakan orang tuanya, namun mereka masih ingin berubah saat merasakan kebebasan nantinya. Anak yang melakukan tindakan pelanggaran hukum atas dasar spontanitas, atau ekspresi atas keadaan yang menimpanya, cenderung tidak merasa bersalah dan ada sedikit kebanggaan karena telah melakukan tindakan tersebut. Mereka akan menganggap diri mereka semacam “jagoan” dan apa yang mereka lakukan merupakan hal biasa. Mereka menganggap hal tersebut sebagai aksi heroik untuk menyelamatkan lingkungan pergaulan mereka.









DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Astuti, Made Sadhi.2003.Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak. Malang: UM Press.
Cooley, Charles H. 1964. Human Nature and The Social Order. New York: Scribner’s dalam Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern (Cetakan ke tujuh).Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Dewi dan Fatahillah A. Syukur.2011.Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. Depok: Indie Publishing.
Ichwan, Ronny, dkk.2009. Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum bagi Para Pemangku Kepentingan di Surabaya. Surabaya: World Vision.
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-teori Sosial dari Fungsionalisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Purnianti, dkk.2006. Analisa Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia.UNICEF Indonesia.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern (Cetakan ke tujuh).Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Suryani, Nilma dan Henny Andriani. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Menjalani Pidana Penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Diakses dari internet
Suyanto, Bagong dan Septi Ariadi. 2007. Interaksi dan Tindakan Sosial dalam Sosiologi dan Teks Pengantar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Skripsi
Nifianto, Temma. 2009. Hak Anak di Rutan Medaeng. Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Saviatri, Olivia Dewi. 2000. Anak yang Berkonflik dengan Hukum: Analisis tentang Latar Belakang Anak yang Berkonflik dengan Hukum dan Gambaran Pola Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II A Blitar. Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Artikel dan Jurnal
KPAI: Hapuskan Penjara Anak. http://id.berita.yahoo.com/kpai-hapuskan-penjara-anak-174158481.html. Diaksesp pada Februari 2010
http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/190-alternatif-pemidanaan-restorative-justice-bagi-anak-berkonflik-dengan-hukum.html
http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/24/82948/Angka-Kriminalitas-Anak-di-Jatim-Tinggi/6




[1]Hasil Wawancara dengan Bapak Riyanto, SH. Direktur yayasan Genta Surabaya dan juga orang yang pernah mendampingi anak yang berkonflik dengan hukum pada hari Senin tanggal 2 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar