Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Jumat, 04 Oktober 2013

Indonesia, Palestina, dan Air Mata

Ini sebuah cerita pembangun jiwa, bacalah dalam keadaan tenang, hayati dan biarkan bait-bait kata menembus sanubari, izinkan hayalanmu melayang-layang hingga terhempas jauh dan melukai hatimu, bayangkan saja apa yang kamu rasakan dan akalmu akan bekerja keras memaksamu terlibat dalam kebenaran. Bila selesai, berhentilah sejenak, pejamkan matamu sebentar, dan ucaplah syukur sebanyak-banyaknya atas segala nikmat yang telah kau dapat selama ini.

Berawal dari perbincangan ringan antara dua orang bocah yang masih polos, mereka bahkan masih sangat polos untuk bisa menyaring kata-kata yang pantas dan yang tidak untuk diucapkan. Tapi tak masalah, mereka hanya dua anak kecil yang masih sangat kecil dan belum mengerti apa-apa, toh mungkin dari cerita-cerita mereka kita bisa memaknai tujuan hidup yang sesungguhnya, Insya Allah!.

Namanya Maurah, usianya baru sembilan tahun, ia seorang anak Indonesia yang sangat cantik, rambutnya hitam panjang dan selalu dikepang. Setiap pulang sekolah ia dijemput supir pribadi keluarganya, tentu ini hal yang biasa mengingat ayahnya adalah seorang diplomat yang ditugaskan negara untuk menjadi jembatan antara Indonesia dan Mesir. Ibunya turunan darah ningrat yang walaupun hanya memakan sebuah roti tetap harus menggunakan garpu.

Maurah memiliki seorang sahabat yang merupakan anak yatim piatu dari Gaza, Palestina. Sayangnya ia sendiri tidak tahu kalau sahabatnya adalah seorang yatim. Namanya Filistin, seorang anak yang cerdas dan memiliki banyak bekas luka di wajahnya. Filistin adalah salah satu anak yang selamat dari serangan membabi buta Israel, ia juga mampu melewati operasi pembedahan dengan tenang saat dada kirinya ditembus peluru para penembak jitu Israel. Filistin sangat periang dan menyayangi Maurah layaknya saudara kandung ia sendiri, umurnya terpaut sebulan lebih muda dari Maurah.

Maurah, rindukah kamu dengan negaramu ? Tanya Filistin.
Tentu itu sahabatku, tapi saat ini aku lebih senang tinggal disini, aku suka kurma Mesir yang ukurannya besar dan manis-manis. Di negaraku tak ada yang seperti ini, dan kalaupun ada harganya mahal sekali, mama pasti membatasiku untuk memakannya, jawab Maurah.
Ikutlah kau ke negaraku kalau kau mau, disana banyak pohon kurma. Kau bisa memetik semaumu dan bisa kau bawa ke Indonesia sebagai oleh-oleh dariku.
Sungguh ? Aku akan ikut denganmu kalau kau hendak kembali wahai sahabatku. Pasti negaramu subur sekali, ah aku ingin melihat tempat bermainmu dan memberi salam kepada kedua orang tuamu.
Hahaha, iya negaraku memang paling subur sahabatku. Sayang, semua itu cuma ada di ingatanku saat masih berumur lima tahun. Kini semuanya telah hancur, tapi kau jangan berkecil hati, tentang pohon-pohon kurma itu, kau masih bisa melihatnya. Kau akan aku bawa ke tempat bermainku, disana dulu ibuku menggenggam jemariku dan bercanda tawa denganku.
Ah aku akan mengabari teman-temanku di Indonesia kalau aku akan ke Palestina bersamamu, kita akan mencari kurma dan memakannya sampai puas. Sungguh aku tak sabar menunggu liburan musim panas tiba dan kita segera kesana, Maurah berantusias.
Apa kau masih merasa sebagai anak kecil wahai sahabatku ? tanya Filistin penasaran.
Tentu itu sahabatku, aku ini baru berusia sembilan tahun dan masih terlalu muda untuk bisa memakai gaun ibuku atau merapihkan dasi ayahku sebelum ia berangkat kerja. Kau pun seperti itu, semua teman kelas kita, bahkan teman bermainmu di Gaza juga masih kecil. Kita masih kecil Filistin! jawab Maurah dengan semangat.
Tidak wahai sahabat manisku, aku yang lahir lebih muda sebulan darimu merasa sedang terperangkap oleh jiwa yang sudah berusia puluhan tahun. Teman-temanku di Gaza juga sama sepertiku, kami terlahir dengan fisik yang kecil namun berjiwa dewasa, timpal Filistin dengan sopan.
Kenapa bisa seperti itu ? Kenapa kau merasa seperti seorang dewasa wahai Filistin sahabatku ? tanya Maurah keheranan.
Maurah, maukah kamu menceritakan masa-masa kecilmu padaku, aku sungguh ingin mengetahui seperti apa masa kecil anak-anak Indonesia sepertimu. Tentu kalau kau tak keberatan sahabatku, pinta Filistin merendah.
Sejenak, Maurah menoleh ke wajah Filistin dengan keheranan. Ditatapnya wajah penuh bekas luka dan mata cokelatnya yang memancarkan kedamaian. Setangkai bunga matahari yang ada ditangannya ia bagi dua dan memberikan bunganya untuk Filistin, sedang ia memutar-putar tangkainya dan tersenyum tipis sambil bercerita dengan tulus.

“Aku lahir di Ibukota, namanya Jakarta. Aku sendiri tak terlalu mengingat bagaimana besarnya kota itu, karena sejak berumur tujuh tahun ayahku sudah bekerja di Cairo dan kita semua ikut bersamanya. Teman bermainku adalah seorang anak cacat yang tinggalnya disebelah rumahku, namanya Fathia, sayangnya ia telah meninggal akibat tumor ganas yang menggerogoti tenggorokannya.
Dulu kita sering bermain boneka dan Fathia menyukai boneka Pandaku, akhirnya boneka itu aku berikan untuknya sebagai kenang-kenangan saat aku berangkat kesini. Aku pernah berjanji kalau aku besar nanti, aku akan kembali ke Indonesia dan membawakan boneka panda yang lucu untuknya. Sayang, seminggu sebelum ia meninggal, ibunya menelpon mamaku dan kita pun berkesempatan untuk bertukar rindu. Aku masih ingat saat dia bilang supaya aku tak usah repot-repot membawakannya boneka lagi, dia minta aku membelikannya tasbih dan mukenah yang serba putih, ya tuhan ternyata beberapa hari kemudian Allah memanggilnya. Aku sungguh tak punya teman lagi sebaik dia, Fathia si gadis kecil cacat yang selalu tidur memeluk al-quran telah pergi.
Aku sempat marah pada mamaku dan tak mau berbicara dengannya berminggu-minggu, itu semua karena mama tak memberitahuku tentang penyakit Fathia. Akhirnya mama membelikanku seperangkat komputer agar aku mau memaafkannya, ah mama sangat tahu kelemahanku.
Wahai Filistin yang cantik, anak-anak seusia kita di negaraku sangat bebas menjalani apapun yang ingin mereka lakukan. Orang tua kami hanya akan mencari anak-anaknya saat menjelang maghrib, kami akan pulang untuk mandi dan belajar kemudian makan malam dan istirahat. Kau akan gendut dan tampak jelek di cermin saat menggunakan seragam sekolah”.
Terus, apa yang kau syukuri dari negaramu yang tak kau temukan disini ? tanya Filistin antusias.
“Sangat banyak wahai sahabatku, aku memerlukan waktu seumur hidup untuk bisa menceritakannya padamu. Negaraku sangat makmur dan bergelimpangan hasil bumi, kau bisa memakan daging sapi berkualitas dan meminum air murni dari mata air unggulan dimana-mana. Awan kami berwarna biru cerah dengan lautan hijau toska yang menawan, gunung-gungung akan terlihat seperti berakrobat dan menampilkan punggung-punggung mereka yang anggun, kau juga tak akan cukup menggunakan sepuluh jarimu untuk menghitung banyaknya gedung pencakar langit disana.
Tentunya, kau akan hidup ditengah-tengah umat muslim yang katanya terbesar di dunia, dan kau juga akan belajar bagaimana toleransi beragama dipraktekan oleh lima keyakinan yang berbeda. Kita juga punya puluhan juta masjid yang cantik-cantik dan kau bisa memilih untuk melakukan sholat di masjid manapun yang kau kehendaki.
Budaya kami juga sudah terkenal hingga ke seluruh dunia, bahkan para pakar memprediksi bahwa negaraku adalah benua Atlantis yang hilang. Sungguh mereka tak terlalu berlebihan menurutku, itu karena Indonesiaku adalah seperti sepotong surga yang jatuh dari langit. Aku pun berharap kalau sudah besar nanti dan sudah menyelesaikan sekolahku di Cairo, aku akan kembali ke Jakarta, kembali ke kota kelahiranku dan menangis di atas batu nisan Fathia yang sudah lama kurindu”. Maurah menjelaskan dengan semangat yang meletup-letup sampai tak sadar pipi kirinya basah karena air matanya.
“Sungguh negaramu adalah negeri impianku selama ini, sayangnya aku sudah terlalu jatuh cinta dengan tanah Palestinaku. Disana aku dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan, aku menjadi terlalu dewasa untuk diriku dan fisikku sendiri”. Tutur Filistin penuh sesal.
“Wahai gadis manis yang berjiwa besar, ceritakanlah tentang semuanya untukku, anggaplah aku sebagai pohon mati yang tak bisa berbunga dan memberi keteduhan bagi para musafir yang lelah. Izinkan aku mengetahui sebagian kisah menarik dalam hidupmu, ceritakanlah sahabatku, aku akan mendengarkanmu dengan tulus”. Pinta Maurah dengan bijak.
“Maurah sahabatku yang pandai, tahukah kamu tentang negeriku, negeri Palestina ? Kami adalah bangsa yang besar namun dituding sebagai bangsa pembuat kekacauan di dunia, pastinya tuduhan itu datang dari Israel dan Amerika. Dulu, aku dilahirkan dari rahim suci milik seorang perempuan bernama Tsurayah, belakangan aku memanggilnya Ibu.
Ia adalah wanita hebat yang mengajarkanku untuk selalu melindungi auratku sebagai perempuan, ia juga Ibu dari ketiga saudaraku, Fatemah, Bayhan, dan Saleem. Ayahku adalah seorang pengusaha susu kambing yang selalu ia jual ke Deir al Balah hingga Khan Yunis demi menghidupi kami semua. Ayah adalah sosok pria disiplin dan penuh kasih, namanya Alizadeh, keturunan Iran yang terkenal keras kepala.
Teman bermainku bernama Maryam dan Adam, keduanya mati karena serangan pasukan Israel. Maryam mati dalam keadaan kepala putus, sedang Adam tertimbun reruntuhan rumahnya yang dibom. Saat itu aku sedang berada di rumah Adam dan berusaha lari menyelamatkan diri, kulihat ibu dan ketiga saudaraku diluar rumah sedang menangis histeris dan mencoba meraih tanganku.
Tak berapa lama ibu jatuh tersungkur dihadapan kami, ia ditembak oleh tentara Israel, ibu jatuh dan merangkul kami agar tak terkena tembakan mereka. Sayangnya, tentara-tentara itu semakin mendekat dan menembak kami dari jarak 500m. Tubuh ketiga saudaraku tak luput dari amukan peluru, darah-darah segar menutupi seluruh mukaku. Saat itu yang kurasa hanya sebuah benda yang menembus dada kiriku dan membuat panas seluruh tubuhku, saking panasnya aku hanya bisa berdoa dan tak sadarkan diri. Sebelum aku benar-benar pingsan, aku masih mendengar suara lirih keluar dari mulut ibu. Dia bilang dia sangat mencintai kami dan berpesan agar tidak takut dengan kematian.

Ayah yang saat itu sedang berada di Khan Yunis segera kembali ke kota kami, di Bait Lahiya, Gaza Timur. Sungguh ia hanya bisa bersujud di depan jenazah keempat orang yang ia sayangi. Dan aku, aku dibawa ke rumah seorang warga yang bernama Nouram. Ayah kemudian menyusulku dan menangis sejadi-jadinya saat melihat dada kiriku dijebol timah panas.
Regu penyelamat akhirnya datang dan segera membawaku untuk melakukan operasi di rumah sakit Cairo. Ayah tentu mengantarku dan tak membiarkan sedetikpun untuk jauh dariku, memasuki daerah Khan Yunis mobil kami dipaksa berhenti oleh blokade tentara Israel. Aku dan regu penyelamat diizinkan menuju pintu perlintasan Rafah, sedang ayah, kulihat ia ditembak dan pergelangan tangannya dipatahkan hingga jatuh tersungkur di depan para tentara kejam itu.
Aku ditangani oleh dokter ahli yang kerepotan karena kehabisan obat bius, akhirnya mereka menyuruhku untuk melantunkan ayat-ayat suci al-Quran dengan pelan dan semampuku, dengan hati-hati mereka melakukan operasi pengangkatan peluru yang bersarang di dadaku. Saat itu, aku merasa Ibu, Ayah, dan ketiga saudaraku sedang berdiri disampingku dan memberikan semangat sebisa mereka. Tuhan, aku baru berumur enam tahun dan belum siap menerima semua ini. Cuma itu yang bisa kukatakan setiap hari.
Setelah sembuh, aku kembali ke Bait Lahiya dan bergabung dengan anak-anak yatim lainnya di kamp pengungsian. Kusempatkan pula waktu untuk melihat rumahku yang ternyata sudah dibom oleh Israel, kutemukan bercak darah ibu dan saudara-saudaraku masih menempel disana, sungguh aku ingin menyusul mereka ke surga. Selama di kamp pengungsian, ada seorang anak bernama Ibrahim yang sangat berani dan memanggilku "bocah penakut" karena masih trauma dan tak mau terlibat aksi balas dendam yang akan mereka lakukan.
Pagi itu Ibrahim memimpin puluhan anak-anak untuk menuju bukit Jabaliyah dan melakukan intifada (lempar batu) ke arah pasukan Israel yang menjaga perbatasan. Batu demi batu mereka lemparkan sambil sesekali berteriak "kalian setan.. pembunuh pecundang.. kalian biadap". Dan akhirnya, karena terbakar emosi, para tentara itu melancarkan serangan balasan yang tak sepadan. Mereka memuntahkan peluru-peluru segar dan menembus tubuh mungil anak-anak itu. Ibrahim sendiri ditangkap dan dipatahkan pergelangan tangannya.
Aku akhirnya bersembunyi di dalam mobil ambulans milik rumah sakit Mesir, sambil berdoa aku berharap dengan mobil ini aku bisa keluar dari wilayah Gaza dan mencari kehidupan di Cairo. Alhamdulillah mobil itu lolos pemeriksaan di perbatasan Rafah dan mengantarku mengawali hidup baru sebagai bocah malang dari Palestina.
Di Cairo-lah aku bertemu Abbas Bin Qishas yang kemudian mengangkatku sebagai anaknya, darinya pula aku memperolah hak untuk bersekolah di Sekolah Internasional Cairo dan berteman dengan kalian, terlebih aku dapat mengenalmu wahai Maurah yang baik hati”. Ucap Filistin polos.

Maurah yang menahan sesak di dada kini menangis sejadi-jadinya saat mendengar cerita Filistin, baginya Filistin adalah sosok pemberani yang lolos dari kematian dan menjadi saksi hidup kekejaman Israel untuknya.

Maurah mengangkat wajah Filistin yang meratap kosong kedepan, dengan senyum ia merapihkan jilbab sahabatnya yang berantakan, dalam-dalam ia menatap mata Filistin yang memancarkan kedukaan. Ia rangkul pundak gadis malang itu, kemudian mengambil bunga matahari yang ada di tangan Filistin, dengan sedikit senyum ia berbisik “terima kasih sahabatku, kau mengajarkanku arti nilai kehidupan dan membuatku ingin berada ditengah-tengah rombongan yang melakukan intifada. Sungguh negerimu jauh lebih indah dari negeriku, jadilah kau saudaraku dan bukan lagi sahabatku mulai saat ini.”

Filistin, si cantik dari Gaza segera memeluk erat-erat tubuh Maurah. Kali ini ia menyeka air matanya dan membalas ucapan sahabatnya “wahai kau gadis Indonesia yang murah hati, tanpa kau minta pun kita telah menjadi saudara sejak negaramu mengakui kedaulatan negara Palestina. Kita hanya terpisah daratan dan nasib, mungkin esok hari aku akan kesana ke negara paling indah itu dan membawakan setangkai pohon Zaitun sebagai lambang kedamaian. Dan kau Maurah, kalau kau sudah besar nanti dan pulang ke Jakarta, sampaikan pada rakyat Indonesia bahwa kami sangat berterima kasih atas segala bantuan kalian. Perlu kalian ketahui, Rumah Sakit Indonesia di Gaza City adalah satu-satunya rumah sakit asing yang ada disana, yang dibangun dari nol dan akan kami jaga sebagaimana kalian menjaga kami dalam doa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar