Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Rabu, 02 April 2014

Menunggu Rendang Padang Menyerbu Bangkok

Pasar bebas Asean atau biasa disebut Asean Free Trade Area (AFTA), sudah di depan mata. Gong AFTA, akan mulai ditabuh pada 2015 nanti. Semua negara yang terikat pada AFTA, tentu bersiap diri. Termasuk Indonesia. Namun, mencuat kekhawatiran, di era pasar bebas, Indonesia akan kalah bersaing. Ujungnya, hanya akan jadi pasar bagi produk negara lain. Dan, rakyat pun hanya jadi penonton, di negerinya sendiri.
Kegelisahan akan datangnya AFTA, mulai terasa denyutnya. Di republik twitter, saya menangkap denyut itu. Salah satunya dari pemilik akun @dhaniachula.
“#AEC2015 Restoran Thai semakin banyak di Jakarta. RM Padang ada gak di Bangkok?”tulis akun @dhaniachula.
AEC 2015 yang dimaksud @dhaniachula, tak lain dari Asean Economic Community 2015. Sebagai negara yang terikat dengan AFTA, menjadi komunitas Asean, adalah keharusan. Pada 2015, AEC akan mulai diberlakukan. Indonesia termasuk didalamnya.
Cuitan akun @dhaniachula, seperti menggambarkan sebuah kegundahan dari anak negeri, bila AFTA tiba nanti. Sebuah pesan sederhana dari seorang warga, yang tak mau produk negeri orang yang jadi tuan di negerinya sendiri. Sementara racikan buatan sendiri terdesak, tak mampu bersaing.
Mungkin cuitan itu terlihat sepele, karena hanya bicara restoran dan makanan. Tapi, jangan salah, lewat makanan pula, Amerika Serikat bisa mencengkram negeri lain lewat Mc Donald’s, KFC, Starbuck dan lainnya. Ini membuktikan, bahwa makanan bisa menjadi instrumen bagi sebuah negara ‘menguasai’ bangsa lainnya. Jadi, tak harus dengan todongan senjata, sebuah negara bisa meringkas dan menguasai negara lain. Coca Cola, Microsoft, Apple, Pepsi, Nike adalah sederet merek yang jadi andalan Paman Sam, menguasai dunia.
Negeri lainnya pun, begitu. Lihat saja Korea Selatan, yang coba meringkas dunia dengan merek produknya, seperti Samsung, Hyundai dan KIA. Atau Jepang, lewat Toyota, Honda dan Yamahanya. Cina pun sekarang sedang agresif-agresifnya. Merek-merek seperti HTC dan Lenovo kini coba untuk di apungkan, menjadi salah satu brand dunia.
Indonesia, mesti mencontoh itu. Tidak harus lewat handphone, tablet atau kendaraan, tapi bisa juga via makanan. Indonesia punya potensi. Negeri ini kaya akan racikan makanan. Bisa jadi, nasib bandrek, akan bisa seperti Coca Cola atau Pepsi dan rendang ataupun ayam pop dapat sejajar dengan ayam goreng hasil racikan Harland Sanders.
Yakinlah, Indonesia punya kemampuan. Punya modal untuk melompat dan mengepakan saya. Di bidang teknologi tinggi misal, negeri ini punya PT Dirgantara Indonesia, perusahaan plat merah yang sudah mampu membuat pesawat dengan merek sendiri N 250. Negeri ini juga punya PT Pindad, yang mampu meracik tank ringan Anoa 6×6. Atau PT PAL, yang sudah bisa buat kapal besar.
Tinggal dikembangkan dan tinggal didukung. Dan, tidak hanya lewat barang berteknologi tinggi, Indonesia bisa merangsek keluar. Lewat kuliner, Indonesia pun bisa seperti Amerika yang berhasil menelorkan Mc Donald atau Starbuck.
Lalu apa pula kaitannya dengan rendang? Rendang sangat mungkin bisa seperti Mc Donald atau Starbuck, minimal untuk kawasan Asean. Apalagi, menu kuliner berbahan daging sapi aseli Padang itu pernah dinobatkan sebagai salah satu makanan terenak di dunia versi CNN. Tentu itu modal dan bisa jadi peluang. Bila Mc Donald bisa, restoran Padang dengan menu rendangnya pun, pasti bisa. Bila restoran Thai, sudah merangsek Jakarta, rumah makan Padang pun, mestinya sudah masuk Bangkok.
Kuncinya adalah kepada penestrasi jaringan. Serta keberanian untuk mengepakkan sayap. Promosi menjadi bagian penting dalam hal ini. Pemerintah dengan Kementerian Pariwisatanya, bisa memainkan peran ini, ikut dan harus ‘menduniakan’ rendang Indonesia. Tak kalah penting, permudah akses kepada modal. Inovasi pun harus jadi bagian penting. Misal, rendang kalengan. Sehingga, nanti di kota Bangkok atau Metro Manila, tak hanya Rumah Makan Padang yang bertebaran, tapi juga rak-rak supermarket mereka penuh dengan rendang kalengan.
Keberanian melakukan penestrasi, menyerang tepat ke jantung pertahanan ‘lawan’ adalah kunci kemenangan. Namun, tak asal serang. Pasukan harus diberi bekal cukup, strategi jitu dan dukungan amunisi. Sehingga, mereka akan menguasi medan pertempuran. Setelah siap, lakukan tusukan penestrasi. Tak peduli, penestrasi itu lewat Tom Yam, menu andalan restoran Thai. Namun yang pasti salah satu kaki negeri Gadjah Putih itu sudah berjingkat di ruang tengah rumah kita. Mereka telah datang, membawa ’senjata’. Lewat makanan, Thailand telah bersiap diri menghadapi pasar bebas Asia Tenggara.
Tom Yam, atau restoran Thai, hanya semacam simboli dari eksistensi dan penestrasi negeri Gajah Putih. Itu, adalah salah satu senjata mereka, menguasai medan pertempuran AFTA. Pun rendang Padang atau RM Padang, adalah simbol sekaligus salah satu senjata milik Indonesia, sama seperti KFC atau Mc Donald asal negeri Paman Sam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar