Media Informasi Pemuda Peduli Dhuafa Gresik (PPDG) || Website: www.pemudapedulidhuafa.org || Facebook: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Twitter: @PPD_Gresik || Instagram: Pemuda Peduli Dhuafa Gresik || Email: ppd.gresik@gmail.com || Contact Person: 0838-3199-1684 || Nomor Rekening: 0335202554 BNI a.n. Ihtami Putri Haritani || Konfirmasi Donasi di nomor telepon: 0857-3068-6830 || #SemangatBerkarya #PPDGresik

Senin, 07 April 2014

Harga Satinah, Supriyadi, Wiji, dan Faridatul

Marah, geram, dan beragam perasaan kecewa berkecamuk di hatiku. Semua perasaan itu disebabkan satu hal: dibebaskannya Satinah, sang pencuri dan pembunuh majikannya di Arab Saudi karena pemerintah Indonesia menebus diyat atau uang diyat Rp21 M kepada keluarga korban. Jelas-jelas pengadilan memutuskan bahwa dia terbukti mencuri dan membunuh majikannya, pemerintah seakan tutup mata bahwa warga negaranya itu memang berkelakuan buruk.
Saya tidak alergi atau membenci upaya pembebasannya itu. Namun, mestinya pembebasan itu merunut penyebab hukuman. Satinah membunuh majikannya karena ia ketahuan mencuri harta majikan dan bukan upaya untuk membela diri dari ancaman perkosaan, tindak kriminal, atau lainnya. Maka, ia layak mendapat hukuman menurut undang-undang yang berlaku di negara itu. Opo tumon, pemerintah seakan menutup mata bahwa Satinah itu pencuri dan pembunuh. Sepertinya pemerintah tidak menghormati sistem hukum di negara lain.
Perasaanku makin geram dan marah ketika pagi ini saya membaca dua buah berita. Berita ini di-sharing oleh Mbak S Nurhytie. Di Ponorogo, Jawa Timur, tergeletak dua anak manusia dengan kondisi sangat mengenaskan. Supriyanto dan Wiji, terbaring lemah di atas ranjang kayu, di dalam rumahnya yang kumuh, Di dusun Krajan, desa Mrayan, kecamatan Ngrayun, Ponorogo. Tak hanya kumuh, ruangan rumah yang juga menjadi tempat tidur ini, sangat pengap dan berbau busuk kotoran manusia. Puluhan tahun kondisi itu terbiarkan tanpa dipedulikan pemerintah.
Wiji yang kini berumur 35 tahun, tak bisa bergerak sama sekali, hanya terbaring dengan posisi miring. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan sama sekali. Sesekali, matanya menatap tanah, dan mulutnya menganga. Di sampingnya, di tempat tidur yang sama, ada Suprianto, adiknya yang kini berumur sekitar 25 tahun. Kondisinya tak jauh berbeda, hanya bisa berbaring dan sesekali menggerakkan kepalanya. Tangan dan kaki, juga tertekuk kaku tak bisa digerakkan sama sekali. Namun kepalanya, masih bisa di dengakknya, sesekali, meski dengan sangat kesulitan. Sesekali dari mulutnya, terdengar suara, yang tidak jelas artinya. Dua orang kakak beradik itu hanya dirawat Jaswadi, saudara tengahnya.
13966685172097479816
Faridhatul (baju sekolah) bersama orang tuanya yang sakit (Foto: http://cahayareformasi.com)
Belum hilang rasa geram itu, kemarahanku makin memuncak ketika membaca berita ini: Siswi sma Surabaya akan Jual Ginjal demi Pengobatan Kedua Orangtuanya. Adalah Faridatul Hasanah (19), siswi kelas III di SMAN 3 Surabaya menawarkan ginjalnya seharga Rp 70 juta bagi siapapun yang ingin membelinya. Uang tersebut rencananya untuk biaya berobat ibundanya, Nur Hayati yang menderita kanker rahim dan pengobatan ayahnya Didik Susanto yang menderita stroke serta sang adik bernama ayu yang menderita kanker getah bening. Gadis warga Bulak Banteng, Bandar Rejo Surabaya itupun pernah berkeluh kesah kepada teman-teman sekolahnyatentang niat tersebut.
Saya tak habis pikir dengan pemikiran pemerintah. Mengapa Satinah mendapat perlakukan begitu istimewa, sedangkan SupriyantoWiji, dan Faridhatul harus menanggung derita yang teramat memilukan? Jelas-jelas Satinah itu pembunuh, tetapi pemerintah begitu ringan membantunya dengan menggelontorkan duit negara Rp21 M. Sementara itu, dua keluarga yang teramat memerlukan uluran tangan dan hanya bertempat tinggal di Jawa Timur justru luput dari perhatian pemerintah. Sungguh pemerintah teramat keterlaluan dan memberlakukan sesama warga negara secara deskriminatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar